Senin, 02 Juli 2012

Basket Lagi

Setelah beberapa tahun tidak basket, akhirnya kesampaian juga saya main basket lagi. Kali ini, saya basket di kantor. Biasanya, setiap tahun kantor saya ini ada pertandingan antar-karyawan. Kata para atasan sih dalam rangka menyambut 17 Agustus-an, hehee ada-ada saja ya. Tapi tak apa, malah bisa untuk hiburan para karyawan, bisa ngakak karena melihat  tingkah-tingkah lucu beberapa karyawan yang sebelumnya tak biasa main basket. Ada yang Cuma ketawa-ketawa, ada yang aktif bergerak tapi tidak jelas, ada yang berjaga bola tapi malah seperti orang menari Kecak, dan masih banyak lagi.

Malam sebelum bertanding saya mencari-cari sepatu basket yang dulu sering saya pakai. Ketemu juga. Sepatu itu sudah terlantar karna tak pernah terpakai. Hanya tersimpan di rak sepatu, di teras belakang. Kasihan,ia tampak lusuh dan sangat berdebu. Perlahan saya bersihkan sepatu itu pakai lap kanebo basah. Saya usap-usap saja. hhmm..sepatunya kan terbuat dari kulit dan plastik sintetis, jadi ya sementara tak perlu dicuci dulu lah.

Tiba saatnya saya bertanding. Ternyata musuh kami adalah tim dari divisi produksi. “wah, awakke do atos. Maklum lah, saben dina kan wah-cah kae usung-usung. Ora mung kaya awak dewe, mung lingguh”, kata beberapa kawan satu divisi.

Saya sendiri tak merasa takut bertanding dengan mereka. Selama pertandingan saya merasa kurang nyaman dengan lantainya. Sangat licin. Saya pikir, lantai itu perlu dipel dulu. Lapangan basket di kantor berada di samping pabrik buku kantor. Lantainya keramik warna putih, garisnya pun dibuat dari lakban. Ringnya nempel di tembok. Hehehe

Saya pun terkena dampak dari kelicinan lantai itu. Saya terpleset 2x di underbasket. Istilah orang Jawa “kanteb”. Karena terlalu licin saya memilih untuk cekeran. Ternyata malah lebih nyaman dan bisa bebas berlari sana sini hingga akhirnya menang dengan skor 13-7.

Boyok saya baru terasa sakit saat di rumah. Sakit karena “kanteb”. Dan esok harinya saya masuk kerja dengan boyok yang deyek-deyek. “Sin, boyokku sakit je. Jatuh kanteb pas basket di kantor, kemarin”, sambatku ke Odil, pacar saya. “Diangetin pake alatnya Babe ya”, katanya dengan nada perhatian. sesaat kemudian dia mengambilkan alat pemanas semacam bantal sabuk. Saya hanya tinggal menancapkan kabel bantal itu ke listrik, ngepaske bantal itu ke bagian yang sakit. hhmm hangat juga ya…lumayan…sakitnya berkurang. Besok lagi kalau pas basket di kantor, saya mau cekeran saja lah.

Selasa, 26 Juni 2012

Teater Balok

Puji Tuhan. Kami, Mudika Paroki St Yakobus Bantul telah punya komunitas kecil yang bergelut dalam seni peran. Namanya Teater Balok. Nama ini tercetus pada tanggal 25 Juni 2012 di kosteran gereja, tepatnya di depan TK St Theresia Bantul. Sebelumnya ada beberapa usulan nama : Guyub, Harmoni, TeateRang. Setelah melewati voting, akhirnya terpilih nama Balok. Kami sepakat memakai tanggal itu sebagai hari lahir TEATER BALOK.

Kurang lebih, kami sudah latihan 4x untuk mementaskan naskah berjudul Jamila dan Sang Presiden, karya Ratna Sarympaet. Ini adalah pementasan dan naskah pertama yang kami sentuh. Sebelum ini, selama beberapa minggu, saya dan Bernard sempat berbincang. Obrolan kami mengarah ke keinginan membuat pementasan teater. Mumpung dalam lingkup gereja belum ada yang berani memantaskan teater dengan konsep benar-benar teater, ya dengan tata cahaya, tata artistik, tata kostum dan rias, dll.

Dengan hanya gagasan sesaat dan keinginan kuat, kami mulai mengumpulkan beberapa kawan untuk diajak berproses bersama. Memang, kebanyakan yang mengurus adalah kawan-kawan dari mudika Cepit karena hanya itu yang sementara bisa kami kumpulkan. Niat kami adalah mengajak teman-teman mudika paroki yang skalanya lebih besar, untuk berproses bersama. Saya, Bernard, dan mungkin mas Chataq yang pernah mencicipi belajar teater ingin berbagi. Bukan bermaksud sok eksis dan mau berkuasa. Niat kami hanya untuk berbagi.

Puji Tuhan, banyak respon positif. Mungkin memang banyak yang menginginkan proses semacam ini. Kami berharap agar kegiatan ini berjalan dengan lancar. Romo pun berharap, kami bisa mempertanggungjawabkan kegiatan ini. Tanggungjawab moral, tanggungjawab keuangan, dan tanggungjawab lainnya. Kami berjanji, kami siap.

Selasa, 19 Juni 2012

Pentas Seni Tari Tradisi


Saya mau sedikit berkomentar tentang seni budaya. Selama saya melihat, sepertinya banyak orang yang ingin  supaya anak-anak muda belajar seni budaya. Yang dimaksud seni budaya ya semacam tarian tradisional, musik tradisional, dll. Saya pun ingin supaya anak-anak muda juga mempelajari dan mengerti hal semacam itu. Tapi kok sepertinya orang-orang yang mengajak belajar itu malah terkesan kurang ikhlas untuk berbuat lebih. Anak-anak muda yang baru belajar hanya diajak berlatih untuk keperluan pentas. Tanpa dasar, tanpa diberitahu tekniknya. Bahkan, pementasannya pun terkesan asal-asalan.

Dalam hal ini, saya mau berbicara tentang pembelajaran seni tari. Saya melihat di pembelajaran seni tari tradisi. Anak-anak muda yang baru belajar hanya disuruh menirukan gerakan sang pelatih. Bahkan hanya berlatih hanya untuk kepentingan pentas. Mbuhh bener po ora gerakanne ya ra diurusi. Satu hal lagi, bagaimana ngepaske dengan iringan pun belum tau, sang pelatih pun tak mengajarkan. Padahal yang paling penting adalah tentang filosofi dan dasarnya. Seni tradisi atau saya lebih sering menyebut seni klasik, selalu punya filosofi. Kalau dalam seni tari klasik, setiap gerakan ada filosofinya, tidak asal gerak. Kalau pun tidak dengan filosofi ya....paling tidak kan diajarkan gerakannya dengan benar sehingga enak dilihat.

Seperti yang saya katakan di awal tadi,  banyak orang yang ingin supaya anak muda belajar seni budaya. Tapi hasilnya jadi asal-asalan. Pikiran saya, buatlah dulu seni budaya itu tampak menarik. Kalau latihannya asal-asalan, gerakannya tidak pas bahkan terkesan wagu, trus apa yang mau diunggulkan? Tidak mungkin kita memaksa anak-anak muda untuk harus mempelajari. Saya yakin, teman-teman muda tidak melirik seni tradisi karena dianggap kuno dan mungkin dari orang tua mereka tidak mengajak mempelajari. Sepertinya memang karena masuknya banyak budaya populer.

Sering saya lihat pentas seni tradisi disajikan di lapangan terbuka, jalan raya, dll. Smua itu tanpa ada konsep dan tata artistik, kadang panas terik matahari jari tata cahaya. Tanpa atap dan beralas tanah, paling banter ya rumput. Saya kok kasihan sama para penampil, kasihan juga sama para penontonnya, apalagi kalau yang dilihat hanya robot. Kenapa saya bilang robot? Karena penampil hanya menirukan gerakan tanpa tahu apa maksud hal yang dilakukan. Saya khawatir justru kaum muda akan semakin enggan belajar seni tradisi. Saya selalu mengritik jika ada hal semacam itu. Belajar adalah cara untuk  bisa/mampu, bukan hanya belajar untuk pentas. Kalaupun hanya untuk pentas ya dimaksimalkan. Persiapkan tata panggung, musik, tata cahaya, koreografi, dan tempat pentas yang memadahi. Pikirkan aspek pemain, pikirkan juga aspek pononton.

Saya berpendapat seperti ini bukan berarti kalau pentas di jalan raya, lapangan, beratap awan dengan panas terik, beralas tanah itu tidak baik untuk pentas. Bisa menjadi baik, bahkan mungkin menarik. Tinggal bagaimana kita mengemas pertunjukan. Jangan sampai hanya karena pembelajaran dan pertunjukan yang kurang menarik, anak-anak muda semakin tidak tertarik mempelajari seni tradisi.

Senin, 11 Juni 2012

Saya Sering Sakit....Saya Mau Menyalahkan..!

Sudah beberapa bulan ini saya bekerja di sebuah perusahaan. Yah, cukup saya nikmati. Sebenarnya saya tidak mau mencurigai, tapi ini yang saya rasakan. Saya hanya mau mencoba menuliskan apa yang saya rasakan.

Sebelumnya, meskipun gemuk, tapi saya sehat walafiat dan jarang sakit. Setelah beberapa bulan bekerja di tempat itu, sebulan sekali kok pasti ada saja waktu untuk sakit. Apa pemicunya? hmm mari dilihat satu-persatu.
Pertama, disediakan air minum di dispenser tapi seperti tidak pernah dibersihkan. Dulu sebelum saya masuk di kantor itu malah ada cerita kalau dispenser itu kemasukan kecoa dan masih tetap dipakai. Katanya sih nggak dicuci. hhmm karena tidak menyaksikan secara langsung ya masa bodoh saja. Beberapa kali saya minum dari situ kok beberapa kali pula saya sering batuk. Akhirnya sekarang saya bawa minum sendiri yang jelas kebersihannya. Ambil air dari dispenser kantor tuh cuma kalau mau bikin minum panas...itu pun bukan saya ambil dari dispenser yang pernah kemasukan kecoa...Masih ada beberapa dispenser kok...Saya pikir, kalau airnya panas, paling tidak kan kumannya berkurang....
Kedua, ruangan yang saya tempati sangat kotor. Meja saya pun juga berdebu. Kalau pun saya membersihkan meja saya tapi meja teman-teman saya tetep aja masih kotor. Kalau saja teman-teman juga membersihkan tapi ruangannya masih kotor. Petugas kebersihannya juga jarang membersihkan. Sekali membersihkan pun tidak maksimal. Hanya ngepel sambil lalu saja. Tak titeni, ini yg bikin saya sering bersin. 
Ketiga, dari pagi sampai sore, para karyawannya duduk di depan komputer. Kalau buat saya, kursi di kantor ini cukup kurang nyaman untuk karyawan kantoran. Kursi merah yang sering dipakai kalau ada acara resepsi itu lho. Menurut beberapa artikel yang saya baca, terlalu banyak duduk punya efek kurang baik bagi kesehatan. Kalau tak salah, beberapa efeknya adalah ttg kemampuan seksual, penyakit jantung, dan diabetes. Kalau saya search di google, tak ada satu pun artikel yang menganggap terlalu banyak duduk sebagai hal yang baik. Tak titeni, sejak saat itu, saya sering tak sehat. Mau olah raga sekeras apapun tapi kalo masih terlalu banyak porsisi duduknya ya akan berbahaya.
Keempat, saya kurang mengonsumsi sayur. Gaji saya tak seberapa. Kalau mau memilih menu juga susah. Mungkin memang kesalahan saya terlalu menyepelekan pola makan. Sebenarnya mau tak mau tetap harus saya sempatkan memilih makanan. Di kantor pun ada jatah makan siang yang sudah disiapkan kantor. Selain menunya itu-itu saja dan kurang menarik, kuotanya pun kadang kurang banyak. Setiap istirahat jam makan, saya harus adu cepat dengan kawan-kawan lainnya. Siapa cepat dia dapat. Kalau tidak dapat jatah ya mood kerja rusak...hhmmm...
Kelima, saya jarang olah raga. Berangkat pagi pulang sore. Sampai rumah sudah lelah. Gimana mau olah raga?  Kadang kalau ada kerjaan sampingan ya sepulang kerja ya nggarap kerjaan sampingan. Pikiran saya jadi terarah ke kerja dan kerja. Keinginannya cuma mau mencukupi kebutuhan materi. Sebenarnya saya tetap harus menyempatkan diri berolah raga.



Minggu, 20 Mei 2012

Saya Tidak Suka Senioritas..!

Saya paling benci dengan senioritas (yang dimaksud adalah kesenioran yang kurang menghargai junior) ataupun anggapan “Kamu itu anak baru”. Mengapa? Buat saya, hal semacam itu kurang menghargai. Bisa saya bilang kurang memanusiakan manusia.

Ada seseorang yang mengatai “kamu itu anak baru” saja rasanya saya dianggap kurang mampu dan sangat rendah. Pernah, di suatu kesempatan, seorang kawan berkata “hey, ke sini! Kenalan dulu, kamu kan anak baru, masa iya aku yang ke sana”. Ada lagi beberapa teman berkata “kamu itu anak baru lho, kok berani-beraninya bercanda sampe ejek-ejekan sama kami yang udah lebih senior”. Miris rasanya mendengar itu. Memangnya ada perbedaan hak? Yang membuat beda hanya durasi. Bukan hak. Memang, tak semua kawan yang seperti itu. Namun, sebagian besar menyampaikan hal itu. Saya kurang tau, hal itu terjadi karena kebiasaan bersama atau karena sifat asli.

Sebenarnya, masalahnya hanya sederhana. Kalau kita mau bersikap terbuka dan saling melayani maka masalah akan selesai. Ada yang salah ya kalau kawan yang sudah lebih dulu berada di sana mendatangi saya dengan hanya berjalan beberapa langkah kemudian memberi salam dan senyum? Harus anak baru kah yang melakukannya?
Buat saya, terbuka, bersahabat, dan melayani adalah kunci kedekatan emosi dengan seseorang. Ngobrol secara akrab dan senyum jujur, bukan senyum palsu membuat saling merasa nyaman antara 2 atau lebih komunikan. Kira-kira, apa yang akan didapat dari senioritas jika tak ada senyum kejujuran dan keterbukaan? Mungkin yang ada hanya penindasan dan kebencian. Pertemanan pun tak akan setulus jika kita bisa bersahabat dan terbuka.

Kalau kita melihat ke masa sekolah atau kuliah, saat pertama kali masuk, kita akan mendapat perlakuan khusus dari kakak angkatan (baca:senior). Biasanya para senior itu memberikan gertakan dan perlakuan kurang adil. 1. Senior tidak pernah salah. 2. Anak baru tidak boleh salah, jika salah akan dihukum. 3. Anak baru harus menurut apa kata senior. 4. Jika senior salah, ingat nomor 1. Apa maksud para senior itu? Minta dihargai? Atau hanya mengerjai?
Barangkali, para senior itu melakukan hal tersebut karena ingin mendidik para junior agar bisa menghargai dan menghormati, tapi apakah efektif? Saya rasa…tidak…! Mau dihormati kok minta. Akan lebih baik kalau para senior itu menunjukkan keramahan, persahabatan, momong, dan keterbukaan. Otomatis,para adik (baca:junior) akan menghormati karena segan dan lebih menghargai. Sikap seperti ini akan menjadikan hubungan menjadi lebih dekat.

Pada saat kuliah, saya tak mengalami senioritas seperti yang pernah saya lihat di televisi. Saya kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD). Di kampus tak ada istilah ospek ataupun penggojlogan dengan cara keras dan melecehkan. Kalau di kampus saya, kegiatan ospek digantikan dengan kegiatan dengan nama INSADHA (Inisiasi Sanata Dharma). Tujuannya hanyalah memperkenalkan mengenai kampus secara keseluruhan. Dalam acara itu, para kakak angkatan baik yang panitia maupun yang bukan panitia memperlakukan dengan sopan, ramah, momong, dan terbuka. Tak jarang senyum dan sapa terlontar. Di sana, kami para peserta diajak berdinamika, dihibur dengan musik, tari, film, dll. Dari yang saya tau, sepertinya hanya USD yang menerapkan sistem yang mengasikkan seperti itu. Para peserta insadha dan panitia pun cepat akrab. Materi yang diberikan selama berdinamika pun dapat mudah diterima. Sebagai mahasiswa yang baru masuk, saya merasa sangat dihargai. Begitu pula pada saat saya menjadi panitia. Energi saling menghargai pun saya rasakan. Tak ada sedikitpun niat untuk menindas para mahasiswa baru. Pantas jika kampus USD menjuluki diri sebagai “kampus humanis”.
Saya mengajak siapa saja yang masih berpikiran bahwa “senior lebih berkuasa” untuk melenyapkan pemikiran itu perlahan, sukur sukur kalo langsung bisa lenyap. Tak ada gunanya dan hanya akan tumbuh dendam. Silakan manusiakan manusia. Hargai sesamamu… Salam dari Yogyakarta..

Selasa, 15 Mei 2012

Angklung Jalanan, Penghias Suasana Malioboro

Angklung memang bukanlah alat musik khas Yogyakarta. Namun, di tangan anak-anak muda ini, angklung menjadi daya tarik khusus di sepanjang jalan Malioboro di sore hingga malam hari.

foto : http://gambar.mitrasites.com/malioboro.html
Ketika itu matahari tak terlalu terik, awan pun tak mengandung warna mendung. Di bawah jembatan Badran, sekelompok anak muda tampak menyiapkan seperangkat alat musik dari bambu. Sesekali angklung itu dipukul untuk mengisi kekosongan waktu sambil melakukan pemanasan. Seorang dari mereka beberapa kali mereka menyisir rambutnya agar tetap klimis. Maklum, mereka mau ngamen di jalan Malioboro, tampilannya harus tetap menarik demi memikat penontonnya nanti. Seketika seorang tukang becak menghampiri mereka dan mulai mengangkat semua alat musik tadi dan mendudukkannya dalam kursi becak. Penuh memang, bahkan tak cukup lagi untuk diduduki satu orang pun. Si klimis mulai berinisiatif memanggil 2 becak untuk mengangkut mereka menuju ke jalan Malioboro.

Ya, seperti itulah keseharian mereka. Mengumpulkan semangat sambil bersantai sebelum bekerja. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Purwokerto. Di Yogyakarta mereka mempunyai sebuah paguyuban angklung tradisional bernama “Kridotomo”. Paguyuban ini didirikan sejak tahun 2008.

“Biasanya pada siang hari kami ngamen di selatan pasar Beringharjo, kadang di sore hari kami juga ngamen di depan toko Ramai” kata Joko, salah seorang pemain angklung. Banyak orang tertarik melihat mereka. Suara dentingan angklung dan tabuhan alat musik meresap ke hati. Suara bilah-bilah bambu yang terdengar tak membuat telinga bising, bahkan terdengar nyaman. Biasanya mereka memainkan musik seperti dangdut, campur sari, pop, lagu daerah, dan masih banyak lagi. Dalam sehari mereka bisa memainkan lebih dari 50 lagu.

Angklung memang berasal dari Jawa Barat. Namun, daerah Banyumas mempunyai ciri khas angklung sendiri. Mereka menyebutnya “Angklung Banyumasan” atau “Kenthongan”. Di daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan sekitarnya, setiap kampung pasti punya grup angklung. Terutama pada saat bulan puasa musik ini dipakai untuk membangunkan pada saat sahur dan biasanya dimainkan oleh 30 orang. Pada hari biasa musik ini sering dimainkan pada saat ronda. Pun saat acara kebudayaan, angklung selalu dimainkan. Lama kelamaan, karena musik ini banyak digemari dan nyaman didengarkan maka orang sana menangkap peluang untuk menyebarkannya ke berbagai kota, salah satunya Yogyakarta dan diterima dengan baik”, kata Supraptyo, pemimpin paguyuban Angklung Kridotomo. Ada yang menyebut Calunk Funky, ada pula yang menyebut Pengamen Angklung, dan ada orang asing yang menyebutnya Malioboro Street angklung.
Ditemani temaram lampu Malioboro; gambang kecil, angklung renteng, marakas, bedug kecil, bedug bass dari, dan cymbal kecil mereka mainkan di sepanjang jalan Malioboro. Memang, ada beberapa grup angklung yang ada di sana, tak hanya grup angklung Kridotomo. Biasanya mereka sudah punya atribut dan seragam masing-masing. Tak ada yang berbeda dari kualitas mereka, semuanya memainkan angklung-angklung itu dengan indah.

Sebuah kardus kosong mereka tempatkan di atas sebuah kursi plastik. Seribu, dua ribu, tak jarang sepuluh ribu rupiah kardus itu mulai terisi. Satu per satu lagu mulai mereka mainkan. Sesekali  mereka bernyanyi bersama-sama. Pengendara mobil dan motor yang melintasi mereka pun menyempatkan untuk melirik, bahkan berhenti sejenak untuk sekedar menikmati sesaat. Pejalan kaki yang melintasi pun tak bisa melewatkan pesona mereka. Dalam setiap penampilan, mereka selalu ditonton layaknya sedang konser. Tak jarang, saking asiknya menikmati, seorang penonton ikut hanyut dalam alunan musik bambu ini dan bergoyang sambil bernayanyi.

Seorang wanita muda tampak sangat menikmati permainan angklung. Sudah banyak yang ia dengar mengenai permainan angklung di Malioboro. “ Musik seperti ini layak untuk diapresiasi. Wajar saja jika banyak orang yang memberi mereka uang karena materi dan kualitas para pemain angklung ini bukan seperti pengamen yang asal-asalan”, jelasnya dengan terkagum melihat para pemain angklung.
Sering kali grup angklung ini dipanggil untuk mengisi dalam sebuah acara. Mereka sudah memasang tarif untuk setiap penampilannya. 500.000 untuk penampilan selama satu jam, tampaknya adalah harga yang pantas. Barangkali Anda juga ingin menikmatinya? Silakan datang atau mengundang mereka.

Senin, 14 Mei 2012

AA Kunto A, Pendiri Perguruan Menulis

“Menulis adalah berekspresi, sama dengan berbicara. Semua orang bisa berbicara maka semua orang bisa menulis. Akan aneh bila seseorang yang normal tidak berbicara, begitu pula akan aneh jika tidak menulis. Menulis itu mudah. Semua orang pasti bisa menulis” (AA Kunto A)



Di suatu pagi saat matahari belum terlalu terik, seorang lelaki datang dengan mengendarai motor tua. Dengan ramah Ia mempersilakan saya untuk duduk di sebuah lincak (kursi dari bilah-bilah bambu), “monggo..monggo” katanya. Saat itu, ia nampak kelelahan. Maklum saja, ia baru saja selesai rapat dengan relasi kerjanya.



Namanya AA Kunto. Usianya 34 tahun. Ia terlihat begitu semangat dan bersahaja ketika berbicara. Sesekali celoteh lucu dan tawa renyah terlontar. Suasana pun terpecah riang. Menulis, menerbitkan, bersepeda, makan-makan, dan memaknai hidup, semua itu diilhami oleh pria ini.


Seakan tak pernah habis menyusuri keistimewaan Yogyakarta yang kental akan keramahan dan budaya yang kental. Keistimewaan Yogyakarta bertambah dengan adanya sebutan sebagai kota wisata buku. Bagaimana tidak? Dalam satu tahun saja di Yogyakarta sudah ada belasan pameran buku. Sebutan itu pun diperkuat oleh AA Kunto dengan didirikannya STMJ (Sekolah Tinggi Menulis Jogjakarta).

Karir menulisnya dimulai pada tahun 1994. Saat itu ia masih SMAia baru saja mengalami kecelakaan. Kakinya terpaksa harus diistirahatkan dan harus memakai alat bantu tongkat untuk berjalan. Namun demikian, sekolahnya mewajibkan semua muridnya mengikuti ekstrakurikuler sebagai syarat kenaikan kelas. Kebingungan melandanya, ia ingin mengikuti olah raga. Apa daya, kakinya tak menudukung untuk berolah raga.Kemudian ia memilih untuk mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik. Dari situ ia kemudian mendaftarkan diri menjadi reporter kolom remaja GEMA, halaman khusus untuk pelajar yang dikelola harian BERNAS. Perjalanan sebagai reporter berlanjut di saat ia kuliah di UGM, selama 1 tahun Kunto bergabung dengan majalah kampus bernama Balairung. Tak puas sampai situ, ia berpindah ke majalah Basis menjadi reporter selama tujuh tahun. Setelah lulus kuliah pada tahun 2003, ia hijrah ke Jakarta dan bekerja di majalah Marketing sebagai redaktur dan freelance sebagai ghostwriter. 2007 ia kembali ke Yogyakarta dan bekerja di penerbit Galang Press sebagai pemimpin redaksi.

Sebagai wartawan, berbagai penugasan jurnalistik telah dilalakoni. Sebagai editor, puluhan buku telah ia sunting. Sebagai penulis, banyak buku telah ia karang. Sebagai pembicara, forum pelatihan di berbagai kota di Indonesia juga telah ia hadiri. Hingga pada tahun 2010 ia bosan menjadi karyawan. Ia memilih keluar dari pekerjaan dan berwirausaha di bidang media.  Ia mendirikan sebuah penerbit kecil-kecilan, ia menyebut penerbit kaki lima.

Dalam tulisannya berjudul “Guru Samino” di blog-nya dan Kompasiana, dia bercerita banyak hal dan setelah saya baca, sepertinya pernyataan dari guru SMA-nya ini lah yang membakar semangatnya untuk berwiraswasta. Berikut saya kutip :

“Isih melu uwong, Le?” Masih bekerja ikut orang, Le? Ini pertanyaan latah yang kerap ia lontarkan jika kami bertandang di rumahnya, 1 km sebelah barat Candi Prambanan, Kalasan. Jika jawabannya “ya”, ia akan menghardik, “Isih dadi batur yen ngono?” Masih jadi pesuruh!

Di matanya, kartu nama kami, dengan embel-embel jabatan supervisor, manajer, bahkan direktur, tidaklah membuatnya kagum. Pamer apa pun di depannya tiada berguna. “Lehmu entuk duit seka ngendi kuwi?” cecarnya jika kami pamer gaji atau kekayaan. Selagi masih diperoleh dengan cara bekerja sebagai karyawan, di matanya nilai kami masih 6.
Bagi Samino, profil murid yang ia kagumi adalah mereka yang berani mandiri. Wiraswasta!

STMJ
26 Oktober 2011 di sore hari pukul 5 sore. Waktu itu gunung Merapi baru saja mengeluarkan wedus gembelnya. Di sebuah tempat bernama Solusi Distribusi, Kunto, Haryadi dan Lina sedang berdiskusi tentang seputar penerbitan. Muncullah ide untuk membentuk sebuah lembaga pelatihan menulis dan agensi naskah untuk penerbit. “Gagasan awal dari berdirinya STMJ adalah karena adanya gap antara penerbit dan penulis. Banyak penulis tersedia namun takut untuk menembus penerbit. Begitu pula pihak penerbit tak mengetahui banyak penulis. Banyak penerbit butuh penulis, banyak penulis butuh penerbit. Kami hadir di tengah-tengahnya”. Bagi kunto, penulis-baru tidak bisa dilepaskan begitu saja. “Biasanya penulis pasti ingin bukunya diterbitkan”, Kunto dan STMJ hadir dengan konsep pelatihan-menulis berbayar dengan garansi bahwa peserta pasti menghasilkan buku. “Kami memang menerapkan tarif tertentu tapi itu untuk pelatihan yang sifatnya kolektif dan jika kami diundang ke suatu tempat dalam jangka waktu tertentu”.

Pelatihan sesungguhnya ia berlakukan secara gratis. Bahkan, pelatihan menulis gratis ini boleh dikatakan privat. Mengapa? Penulis pemula dipersilakan mengajukan ide buku yang ingin ditulis dalam bentuk outline. Ide ini disampaikan secara online ataupun bisa datang sendiri kepada Kunto. Jika ide dan outline disetujui maka Kunto akan memberitahu penulis pemula itu tentang langkah apa yang harus dikerjakan. Langkah demi langkah sang penulis dibimbing sampai menghasilkan sebuah buku.
“Banyak sekolah menulis yang sudah ada seperti Indscript di Bandung, SMM di Semarang, RedCarpet di Jakarta, dan masih banyak lagi. Saya tegaskan bahwa kami memang meniru konsep mereka karena tujuannya sama, yaitu membuka wawasan manusia melalui tulisan”, kata pria yang hobi bersepeda ini.

Wisata Jurnalistik
Banyak wisatawan datang ke Yogyakarta. Biasanya mereka hanya punya cerita yang biasa-biasa saja. Mungkin hanya mendengar penjelasan dari pemandu wisata yang mendampingi. Cerita yang didapat akan terasa sangat membosankan. Kalau hanya melihat Kraton yang dilihat dari sudut pandang sebuah kerajaan, mungkin sudah semua orang mengetahui. Melihat gudeg dari sudut pandang makanannya, mungkin juga sudah banyak orang sudah mengerti. Kunto mengajak para wisatawan mengetahui dan mengabarkan Yogyakarta dari sudut pandang yang berbeda. “Temukan sendiri Jogjamu”, itulah prinsip yang diangkat Kunto dalam program wisata jurnalistik ini. Dengan kata lain, peserta akan menjadi pemandu untuk dirinya sendiri. Wisatawan atau peserta wisata jurnalistik akan diajak blusukan, peserta akan diajak ke tempat wisata yang diinginkan. Tentu, ada tarif tertentu yang harus dibayarkan. Lalu, di mana letak jurnalistiknya? “Program ini hanya dibuka pada musim liburan. Peserta akan diberikan materi : teknik wawancara, pengumpulan ide, dan teknik menulis cerita, teknik menulis feature. Biasanya tulisan hasil tulisan mereka ditampilkan melalui blog”. Menurutnya, dengan mengajak wisatawan mengetahui Yogyakarta dilihat dari sudut pandang yang berbeda berarti ia telah ikut membantu membuka wawasan banyak orang tentang Yogyakarta.
Kula Nuwun mas Kunto, saya nulis panjenengan njih hehe kritikannya saya terima. hehe

Saya akhiri tulisan ini dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer
Orang boleh pandai setinggi langit tetapi selama ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”

Jumat, 11 Mei 2012

Salah Mengerti Kata “Yatim”

Salah pengartian kata-kata dalam Bahasa Indonesia kembali saya temukan. Rata-rata, kesalahan pengartian itu didapat dari guru sekolah dan apa yang didengar di televisi.
Beberapa waktu lalu, teman saya mengirim sebuah pertanyaan di di grup BBM. Begini :

Salah satu soal ujian Bahasa Indonesia.
Pilihlah mana yang benar

a. Anak yatim itu dipukuli ayah kandungnya.
b. Anak yatim itu dipukulkan ayah kandungnya.
c. Anak yatim itu di pukuli ayah kandungnya.
d. Anak yatim itu di pukulkan ayah kandungnya.

Hayo siapa yang bisa jawab soal ini.

Beberapa teman memilih jawaban A, beberapa berkata tidak ada jawaban benar. Lalu ada pertanyaan “Kok jawab A kenapa?” teryata alasannya adalah “dipukuli itu yang bener disambung, bukan dipisah jadi di pukuli.” Menurut buku EYD, alasan ini benar. didan i dalam kata dipukuli adalah sebuah imbuhan yang ditulis serangkai dengan kata dasar. Sedangkan jika kata depan di memang ditulis terpisah dari kata dasar. Contoh kata depan di : di kantor , di sana , dll.

Sedangkan beberapa teman yang sudah pernah mendapatkan pertanyaan ini menertawakan teman yang menjawab A. Dengan santai mereka bilang “Goblog, pasti nggak lulus SD. Anak yatim kan sudah tidak punya ayah”. Setelah membaca ini, saya teringat dulu saat masih duduk di SD, guru PPKN dan Bahasa Indonesia dengan tegas menjelaskan bahwa anak yatim adalah anak yang sudah tidak punya ayah, sedangkan anak piatu adalah anak yang sudah tak mempunyai ibu. Dan benar, setelah saya tanya kepada teman-teman, mereka mengacu pada penjelasan guru di waktu SD dan SMP. Mereka menunjukkan bukti catatan dan buku paket yang masih disimpan. Beberapa memotretnya dan di-upload di grup Blackberry. Saya tertawa kecil sambil mengenang masa itu.

Semasa kuliah, dosen saya pernah menjelaskan tentang hal ini. Kata anak yatim, adalah sebutan untuk anak yang sudah tidak mempunyai salah satu orang tua, tak punya ayah atau tak punya ibu. Hanya salah satu. Bisa juga disebut anak piatu. Maknanya sama. Kemudian saya coba cek di Kamus Besar Bahasa Indonesia dan KBBI online karena dua sumber itu yang saya yakini bisa menjadi patokan.

ya·tim a tidak beribu atau tidak berayah lagi (krn ditinggal mati);

Begitulah kira-kira isinya. Sedangkan jika yatim piatu adalah anak yang sudah tidak punya kedua orang tua. Lalu siapa yang keliru? Bukan saatnya menyalahkan. Namun, akan lebih baik jika para guru SD sebaiknya membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup dan terpercaya. Mereka adalah salah satu penentu masa depan bangsa. SD adalah dasar dari sebuah pendidikan, jika dasarnya ditanamkan kekeliruan maka akan yang akan tumbuh juga sebuah kekeliruan. Memang, kekeliruan semacam ini bisa diperbaiki di saat pendidikan selanjutnya. Namun demikian, mengapa tidak dilaksanakan dari dasar? Semakin banyak yang keliru, semakin banyak pula yang harus diperbaiki. Semoga adik-adik kita akan mendapatkan hak mereka untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Salam dari Yogyakarta.

Selasa, 08 Mei 2012

Hamzah, Mengenalkan dan Mengajak Belajar Seni Budaya Yogyakarta


Diawali dengan menyukai seni budaya Jawa, Hamzah hadir menjadi pengusaha sukses yang menampilkan suasana usaha serba Yogyakarta

Jika Anda pernah berkunjung ke Mirota Batik dan The House Of Raminten, pasti akan merasakan suasana khas Yogyakarta. Suara tabuhan gamelan, tampilan bunga sesaji, kereta kencana, pakaian adat, batik, dan suasana ramah menjadi pemanis suasana di kedua tempat itu.

Keberhasilan Hamzah, pria 62 tahun, pemilik Mirota Batik dan The House of Raminten ini mengawalinya dari kecintaannya terhadap kesenian Jawa. Diawali pada saat dirinya berumur 6 tahun, ibunya mengajaknya untuk mengikuti kursus menari Jawa Mataraman di rumah Walikota Yogyakarta pada saat itu, Pak Purwokusumo. Dari saat itu, dia menyukai karawitan, menari klasik, nembang, wayang orang, ketoprak. “awal mulanya ya ibu saya yang mengursuskan saya di rumah Pak Purwokusumo itu, kalau ditanya apa sebabnya saya suka seni budaya Jawa, tapi banyak orang yang tidak menyukai, tapi kok saya suka” jelasnya.

Meskipun sang ibu berasal dari keturunan Tionghoa, namun jiwanya lebih Jawa daripada orang Jawa. Hamzah menjelaskan “Beliau pun juga sangat suka dengan budaya Jawa, beliau bisa menari dan jaman dulu suka mendengarkan siaran ketoprak di radio” 

Di umurnya yang sudah tidak muda lagi, Hamzah masih tetap belajar menari Jawa Klasik. “Sampai saat ini, setiap hari selasa saya masih latihan menari. Saya diajar oleh Pak Matheus Anwar Santosa. Beliau mengajar tari Gaya Yogyakarta yang sudah jarang ditarikan oleh kebayakan orang seperti Serimpi Pandenori dan Bedhaya Kakung” tutur pria yang pandai mendesain pakaian ini. Pada umumnya tarian klasik di jaman sekarang sudah dimodifikasi, yang tadinya berdurasi kurang lebih dua jam kini hanya dipersingkat menjadi hanya 45 menit saja.  Keinginannya dalam mempelajari tari begitu besar. Meskipun dalam mempelajari tari klasik Jawa terkenal sangat berat, hamzah rela meluangkan waktunya walau dalam kurun 3 tahun, namun ia hanya mempelajari 3 repertoar tari saja.

Perjuangannya dalam bidang seni budaya Jawa tak berhenti sampai di situ saja. Dulu, ia mendirikan group tari bersama Lies Apriani yang kemudian dikenal dengan nama Grup Malem seton. Dinamakan demikian karena dulunya grup ini berlatih setiap Jumat malam atau malam Sabtu. Sekarang grup tersebut sudah berganti latihan pada hari Selasa malam. Grup ini didirikan atas dasar pengabdiannya terhadap seni budaya. Bagaimana tidak, latihan tari terbuka bagi ibu-ibu dari mana pun dan tidak dipungut biaya. Grup ini pun sering pentas di Bangsal Srimanganti Kraton Yogyakarta. Sejak puluhan tahun yang lalu hingga sekarang, grup tari ini semakin bertambah peminatnya. Barangkali ada dari Anda para pembaca sekalian yang ingin bergabung, pintu sangat terbuka lebar. Mungkin Anda juga bisa ikut untuk bersama-sama belajar tentang tari klasik.

Tak mau kalah dengan para ibu-ibu di luar sana yang berlatih tari di area Mirota Batik, karyawan Mirota Batik pun mempunyai group karawitan. Pada awalnya Hamzah mempunyai seperangkat gamelan dan kebetulan ada  salah satu karyawan dari mirota batik yang hobi dengan karawitan. Kemudian ia mengumpulkan data tentang karyawannya yang lain yang juga tertarik pada karawitan. Setelah terkumpul, terbentuklah grup karawitan karyawan yang diampu oleh pelatih dari Kraton Yogyakarta, Pak Fuad. Seperti pada grup tari Malem Seton, Perhatian Hamzah terhadap kelangsungan seni budaya memang cukup besar. Grup karawitan ini juga tak dipungut biaya sedikit pun. Segala biaya sudah ditanggung olehnya. Namun, agak berbeda dengan grup tari, grup karawitan ini diperlakukan denda untuk anggota yang tidak hadir tanpa alas an yang jelas. “konsekuensinya ya ada denda, makanya mereka pasti datang, ya walau pun mungkin terpaksa takut didenda..ha ha ha”, candanya.

Ruang Usaha 
Yogyakarta adalah salah satu kota tujuan wisata yang cukup tersohor di bumi pertiwi ini. Banyak potensi yang ada di dalamnya, seperti banyak kerajinan wayang kulit, topeng, dan kerajinan lainnya. Hamzah, mempunyai inisiatif untuk mengangkat potensi tersebut. Ia mendatangi sendiri para perajin dan memboyong karya-karya para perajin untuk dijual di tokonya. Kadang, jika mempunyai ide kerajinan baru, ia kemudian menggambarnya dan mengonsep dalam bentuk sketsa kemudian mendiskusikan kepada para perajin untuk mewujudkan ide tersebut ke dalam bentuk fisik. Karena ketekunannya merangkul perajin ini, ia saat ini menjadi salah satu pengurus Dewan Kerajinan Nasional Propinsi DIY.

Keinginan mengangkat potensi Yogyakarta tak hanya soal kerajinan. Di semua tempat usahanya, selalu kita akan menemui suasana pakaian dan suasana dengan sentuhan adat Yogyakarta.  Di Mirota Batik misalnya selain lantunan suara gamelan, biasanya kita akan melihat orang berpakaian surjan atau kebaya di pintu masuk, koleksi kereta, dan banyak dagangan bernuansa adat, seperti permainan tradisional, batik dan banyak hal lagi.

Demikian pula di warungnya The House Of Raminten. “Tempat ini dulunya tidak dirancang untuk laris, tapi kok sekarang laris” candanya.Pertama kali kita masuk pasti akan mendengar lantunan suara gamelan dan tampilan kereta. Kita pun juga akan disambut para karyawannya yang menggunakan pakaian dengan sentuhan Yogyakarta. Menu makanannya pun juga menawarkan makanan yang khas Yogyakarta. Awalnya, warung ini hanya menjual jamu dan beberapa makanan khas Yogyakarta. Namun karena semakin laris, sekarang menunya sudah sangat banyak dan mempunyai nama yang unik. Wedang prawan tancep misalnya, nama ini dibuat demikian karena resep menu tersebut didapat dari Dusun Tancep, Wonosari.

“Yogyakarta sebagai tujuan wisata harus disyukuri, oleh sebab itu makanan, pakaian, suasananya juga Yogyakarta. Suasana toko kan juga sangat Jogja, ya suasana kan juga bisa dijual”, katanya.

Perjalanan karis bisnisnya pun pernah mengalami keterpurukan. Pada tahun 2004, tokonya yang terletak di ujung selatan Jalan Malioboro ini pernah mengalami musibah kebakaran. Semua isinya terbakar habis. Hamzah mendapatkan dukungan dari banyak teman dan para karyawannya. Dari keterpurukan tersebut, ia tak memecat satu pun karyawannya. Mereka bergotong-royong membangun lagi tempat tersebut. “ini adalah pengalaman yang orang lain tidak punya namun saya punya. Saya bersyukur saja pernah mengalami seperti itu. Walau pun harta benda telah habis namun dukungan dari para teman telah menguatkan saya. Saya harus kuat dan ini harus berdiri lagi”. Pribadi yang ramah membuat Hamzah dicintai banyak kawan. Akhirnya kini tempat usahanya telah kembali berdiri dan menjadi tujuan para wisatawan dan tetap mempertahankan suasana khas Yogyakarta.




Senin, 30 April 2012

Pedagang Miras Keliling di Bantul

foto saya ambil dari : http://shalluvia.blogspot.com

Kalau Anda melihat foto di atas, tidak ada yang aneh kan? Hanya jamu yang dijual dengan cara keliling. Biasanya ada beras kencur,kunyit asam, dll. Taukah Anda, belum lama ini di Bantul juga muncul pedagang jamu yang dijual dengan cara keliling, tapi jamu yang dijual adalah nama samaran dari miras yaitu “lapen”.

Pertama kali mendengar kabar ini pun saya sempat tergelitik geli. Ada-ada saja ide orang Jogja. Tapi ide ini kok sepertinya kurang pas ya. Berikut akan saya ceritakan kronologisnya.

Kemarin sore, tepatnya tanggal 29 April jam 16.00. Saya dan beberapa sahabat menjenguk seorang teman di RS Panembahan Senapati Bantul. Dia barusaja menjalani operasi lambung.   Ya, umumnya orang menjenguk kan ngajak ngobrol tentang apa yang dia rasakan, apa sebabnya dan banyak lah obrolan lainnya yg sifatnya hanya pepesan kosong.

Selidik punya selidik, selama beberapa minggu, teman saya si son itu (nama saya samarkan) setiap sore rutin mengonsumsi jamu; begitu dia menyebutnya. Pernah sesekali dia bilang “aku pengen gendut , aku dah minum jamu, skarang perutku tambah gedhe to” katanya sambil menunjukkan perutnya yang sudah membuncit.

Benar memang, dia minum jamu tiap sore. Kira-kira jam 16.30, penjual jamu itu lewat ke perkampungan si Son. Badannya besar dan tambun, naik motor yg diiklankan Komeng. Setiap kali si penjual jamu berhenti menjajakan dagangannya, banyak pemuda dan ABG yg mendatanginya. Tak tampak seperti pedagang yg membawa “kronjot” (keranjang) karena dagangannya ada di dalam bagasi motor. meski demikian, pelanggannya sudah tahu kalau dia sedang jualan jamu.

Para pemuda dan ABG itu bertolak dengan membawa bungkusan plastik.  Sruput demi sruput para pemuda itu menikmati minuman yang mereka sebut sebagai jamu itu. Ternyata, “jamu” cuma sebutan mereka untuk menyamarkan agar tak dianggap negatif oleh warga. Sebenarnya minuman itu adalah LAPEN. Barangkali ada yg belum mengenal apa itu lapen. Kalau untuk orang Jogja, kata itu tidak asing. Kalau di daerah Sragen, dikenal ada miras tradisional namanya CIU, di Kalimantan ada Tuak, nah di Jogja, miras tradisionalnya namanya lapen. Tapi, saya sendiri juga tak tahu secara detail apa bahan dan bagaimana cara membuatnya. Saya sendiri juga belum pernah mengonsumsinya. Kata teman saya sih rasanya “kecing” hehe

Kalau ada yang masih ingat, dalam jangka 4 tahun ini ada beberapa kejadian miras oplosan memakan korban. Ingat? ya minuman lapen lah yang menyebabkan. Berbagai macam bahan kimia dicampur. Kalau yg saya ingat, ada bahan pembersih lantai juga. Ya mungkin tidak semua lapen dibuat dengan bahan yang asal-asalan, ada juga yang dibuat dengan cara yg semestinya. tapi ya bagaimana pun cara membuatnya, kalau namanya miras yg dikonsumsi terlalu banyak juga kurang baik. Temen saya yang juga seorang peminum mengatakan hal ini. “Dulu lapen di Pajeksan itu enak tapi aman”, begitu kata temen saya. Saya akui, saya juga peminum miras, tapi ya bukan pemabuk.

Kembali lagi ke pedagang keliling ya. Para pelanggan biasa memanggil si pedangang dengan nama “bagong”. Daerah jangkauannya saya sendiri kurang paham, tapi ada informasi bahwa dia berkeliling di sekitar selatan ringroad selatan (dongkelan) sampai sekitar pasar Bantul. Dia menjual 3 macam rasa : Lapen murni, Lapen putih (katanya sih pakai susu), dan lapen jamu (katanya memang pakai campuran jamu semacam beras kencur). Harganya dipatok hanya Rp 4000 saja. Ada yang mengonsumsi 1 plastik sehari, ada yg mengonsumsi 2 plastik. Satu plastik yang dimaksud adalah plastik ukuran setengah kilo.

Menurut informasi yang saya terima, orang yg biasa minum lapen akan merasa tersiksa jika sehari saja tidak mengonsumsi lapen. Begitu pula yang terjadi dalam kasus ini, candu lapen sudah menyebar. Modus penjualan lapen ini mungkin tergolong baru dan rapi. Dulu, si bagong ini sempat menjual lapen di rumahnya, tapi karena suatu hal (mungkin karena tertangkap Polisi) ia kemudian menjualnya dengan cara keliling.

Teman saya sudah menjadi korban yang untungnya tidak sampai merenggut nyawanya. Masih banyak yang mengonsumsi lapen keliling ini. entah mau berapa korban lagi yang akan terkena imbas lapen ini. saran saya buat semua yang ingin minum miras, usahakan cari miras yang berkualitas lah, jangan asal mau mabuk. Mahal sedikit tak apa, tapi aman. Tapi juga jangan terlalu over dosis. bukan berarti saya menyarankan dan menghalalkan minuman keras lho. ini hanya sudut pandang dari seorang peminum, saya tidak mau munafik kalau saya pun juga peminum

Saran saya untuk bagong, si pedagang lapen. Anda itu kreatif lho, bisa menemukan ide berbisnis dengan menjemput pelanggan. Ini sudah merupakan inovasi. Anda juga sudah punya pelanggan tetap kan? Kalau bisa, jangan jualan lapen lagi karena sudah banyak yang tau kalau lapen buatan Anda itu berbahaya. Usahakan, Anda berdagang sesuatu yg bermanfaat lah. Terakhir, mas bagong, kamu jangan minum lapen buatanmu ya. bahaya, nanti kamu malah pingsan dan bisa opname.

Tulisan ini pernah jadi HL di kompasiana  30 April 2012 | 14:21
Dibaca: 1721   Komentar: 40   3 dari 5 Kompasianer menilai aktual

Sabtu, 14 April 2012

Kursus Nembang Macapat Gaya Yogyakarta


Dari Alun-alun utara, berjalanlah kira-kira 50 meter ke selatan menuju arah Kraton Yogyakarta. Setelah melewati dua gapura besar berwarna putih, di kiri jalan Anda akan menjumpai sebuah rumah bertuliskan “Kursus Macapat, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Menerima Siswa Baru” di sisi depannya. Barangkali Anda tidak menyadarinya. Sebuah tempat kecil dan tua namun cukup berarti. Tempat ini adalah tempat untuk kursus nembang macapat gaya Yogyakarta.


Seolah tulisan itu memanggil kita untuk mau mempelajari seni tradisi macapat. Pada dasarnya, macapat adalah seni olah vokal menyanyikan tembang Jawa. Pada hakikatnya, macapat dinyanyikan tanpa iringan gamelan. Syair macapat berisi tentang banyak hal, ada tentang sejarah, ajaran hidup, nasehat, doa. Cakupan cerita kehidupan dalam macapat meliputi masa manusia sebelum lahir sampai pada masa penantian ke surga.

Pamulangan Sekar Macapat adalah lembaga milik Kraton Yogyakarta di bawah kepengurusan Kawedanan Hageng Punakawan Krida Mardawa, sebuah bagian yang khusus mengurus kesenian. Tempatnya tak begitu besar, pun pencahayaannya hanya memakai lampu neon dan mengandalkan pantulan cahaya matahari. Di tempat kecil ini, budaya Jawa, khususnya di bidang seni tembang macapat berusaha dihidupkan dan dibagikan ilmunya ke semua orang yang ingin mempelajarinya. Pamulangan berasal dari kata “mulang” yang berarti mengajar. Pamulangan berarti pengajaran. “sekar” berarti lagu, dan “macapat” berarti seni olah vokal Jawa.

Sayup terdengar lantunan nada-nada Jawa. Rupanya itu adalah kegiatan belajar mengajar sekar macapat setiap sore pukul 16.00 -17.30, dari hari Senin sampai Sabtu. Biasanya, kegiatan tradisi hanya diikuti oleh orang yang sudah berumur. Namun, di tempat ini ada beberapa murid dari kalangan anak muda. Seperti Dila misalnya. Dia adalah seorang reporter dari sebuah majalah di tempat kuliahnya di UGM. Wanita ini awalnya hanya ingin meliput keberadaan pamulangan sekar macapat ini.

“Saya asli Tangerang, awalnya saya penasaran hanya ingin tau, kata teman saya setiap Senin sampai Kamis sore ada kursus macapat di Kraton. Namun, lama-lama saya tertarik dengan manfaat dan filosofisnya. Dari macapat kita bisa tahu sejarah dan kita diberi ajaran hidup. Dengan macapat juga kita bisa protes, marah, dan berekspresi”, katanya.

Sebagai orang bukan Jawa, Dila bangga bisa mempelajari kesenian yang sudah tak banyak orang mengetahuinya. “Saya sebagai pendatang saja mau belajar, seharusnya orang Jogja terlebih kaum mudanya juga mau belajar. Bagi pendatang, mari kita mempelajari macapat. Kapan lagi ada kesempatan bisa mempelajari warisan budaya yang luar biasa ini. Saya sudah mulai menyukainya.”, ajaknya dengan penuh semangat.

Berbeda dengan murid yang sudah berumur. Pak Arifin (57 tahun) misalnya, meskipun sudah tua ia merasa perlu untuk mempelajari tradisi macapat ini. Selain untuk melestarikan budaya, ia juga ingin memberi contoh kepada anak muda bahwa tak ada kata terlambat untuk belajar. “Dengan macapatan (bernyanyi Jawa), hati saya merasa tentram. Syairnya mempunyai makna yang dalam, nadanya menyejukkan. Pernah ada orang jepang yang bilang pada saya kalau dia juga merasa tentram saat mendengar dan menyanyi macapat. Dia pun pernah ikut kursus di sini”

Dengan sebuah tongkat kecil, Romo Projo, sang guru macapat menunjuk ke sebuah kertas yang ditempelkan di dinding. Perlahan dia menunjuk notasi angka sambil menyanyikan notasi dalam bahasa Jawa “mo..lu..ro…ji..nem..mo..”. Satu per satu siswa bergantian menyanyikan sekar. Sesekali ada pula yang salah, Romo Projo pun maklum. Perlahan dia membimbing mereka “Mboten ngaten, kirang inggil titi nadaipun” pandunya dengan bijak.
Bagi Romo Projo, apa yang dia lakukan bukanlah sebuah pekerjaan. Semua adalah pengabdian terhadap seni budaya. Peserta kursus hanya dipungut biaya 10.000 rupiah untuk pendaftaran dan 10.000 rupiah untuk satu bulanpertemuan. “Itu pun kalau peserta memberi, kalau tidak memberi ya tidak apa-apa, yang penting mereka mau mempelajari dengan serius. Saya tidak mewajibkan mereka untuk membayar. Ini sebuah pengabdian yang tak bisa diukur dengan materi. Saya ikhlas.

Bagi Romo Projo, selain mempelajari macapat, siswa-siswanya secara otomatis pasti mempelajari bahasa dan budaya Jawa. Bahasa pengantarnya pun dia menggunakan bahasa Jawa. “Pada awalnya memang orang yang tidak bisa bahasa Jawa pasti akan keberatan. Namun, bagaimana mungkin orang mempelajari macapat yang semua bahasanya adalah bahasa Jawa tapi tidak mengerti bahasa Jawa. Perlahan mereka akan mengerti. Itu yang menjadi daya tarik buat mereka. Kami tidak memaksa, tapi mengajari.”
Barangkali Anda juga tertarik untuk belajar nembang?

Selasa, 13 Maret 2012

Jemparingan, Seni dan Olah Raga untuk Para Ksatria Panah

Photo : Putro Agustioko

“Sambil menarik busur panah, mata terpicing terarah pada sebuah bedor. Sesekali, sang ksatria panah menghela nafas kemudian melesatkan anak panah ke sasaran.”

Biasanya, banyak orang mengenal olah raga panahan hanya sebatas yang dilombakan dalam festival olah raga berkelas, seperti PON, SEA GAMES, ASEAN GAMES, atau bahkan Olimpiade. Pernahkah Anda mendengar mengenai seni memanah tradisional? Barangkali di setiap pusat kebudayaan nusantara mempunyai olah raga tradisionalnya sendiri, bahkan mungkin mempunyai seni memanahnya sendiri.

Banyak orang mengenal Yogyakarta sebagai kota yang masih sangat menghayati tradisinya. Demikian dengan olah raga tradisionalnya, Jemparingan namanya. Olah raga ini dikenal orang luar Jawa dengan "Panahan Tradisional Mataraman”. Mungkin, namanya tampak asing di telinga kita. Namun demikian, konon sejak 1934 sudah ratusan kali pihak Keraton Yogyakarta menggelar perlombaan untuk olah raga seni memanah ini.

Penanggalan Jawa, mengenal hari Selasa Wage. Di hari itu para ksatria panah bertemu saling mengadu kemampuannya dalam melesatkan anak panah ke sebuah sasaran berupa bandul atau bedor. Acara ini rutin diadakan setiap 35 hari sekali di lapangan Kemandungan Kidul Kraton Yogyakarta, tepatnya di belakang gedung Sasono Hinggil Alun-alun Selatan. Hari tersebut dipilih untuk memperingati hari lahir Sri Sultan Hamengkubuwono X yang bertepatan pada Selasa Wage.

Yang membuat Jemparingan berbeda dengan seni memanah pada biasanya, salah satunya adalah pada posisinya. Dalam Jemparingan, ksatria panah membidik sasarannya dalam posisi duduk bersila. Pakaian yang digunakan pun juga berbeda. Peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat, surjan/peranakan, jarit dan blangkon untuk pria, dan kebaya dan jarit untuk wanita.

Filosofi
Suara peluit dari tiupan seorang lelaki paruh baya melengking. Ksatria panah duduk bersila dengan posisi tubuh tegak, tangan kiri lurus memegang busur, membentuk dua barisan menghadap ke arah sasaran sambil membidik sasaran bandul yang kurang lebih berjarak 30 meter. Masing-masing ksatria dapat meluncurkan empat anak panah setiap putarannya. Ada tiga sasaran panah yang disebut bandul atau bedor yang terbuat dari irisan serabut bambu dan diikat menjadi satu. Ada juga bandul yang terbuat dari gabus yang dibentuk silinder berdiameter 3 cm dan dibungkus kain berukuran kurang lebih 30 cm.

Jemparingan berasal kata dari bahasa Jawa “jemparing” yang berarti panah. Konon, Jemparingan adalah kegiatan latihan para prajurit kraton. Namun, lama kelamaan Jemparingan dijadikan lomba olah raga. Pesertanya pun tak hanya dari kalangan kraton atau masyarakat Yogyakarta, orang dari suku atau bangsa lain pun ikut ambil bagian.

Olah raga ini terkesan sangat sederhana tapi panahan juga membantu pelakunya untuk meningkatkan daya konsentrasi. Fokus melatih kesabaran kekuatan "manah" atau hati dan melatih pernapasan adalah kesulitan sekaligus tantangannya. Sama pada saat melakukan olah raga yoga, butuh ketenangan pikiran, dan juga latihan pernapasan untuk mencapai kesempurnaan. Bergoyangnya sasaran karena tiupan angin akan menjadi tak berarti jika dilawan oleh rasa titis sang ksatria. Kemenangan terjadi saat para ksatria dengan ketenangan hati dapat melesatkan anak panah menembus bandul atau sasaran yang berwarna merah putih yang berada jauh dari kita. Ini dimaknai bahwa sang ksatria mampu mengasah rasa dan membangun hubungan dengan sesuatu yang jauh dari kita.

Selasa, 28 Februari 2012

AA Kunto ASang Pendiri Perguruan Menulis

“Menulis adalah berekspresi, sama dengan berbicara. Semua orang bisa berbicara maka semua orang bisa menulis. Akan aneh bila seseorang yang normal tidak berbicara, begitu pula akan aneh jika tidak menulis. Menulis itu mudah. Semua orang pasti bisa menulis” (AA Kunto A)



Di suatu pagi saat matahari belum terlalu terik, seorang lelaki datang dengan mengendarai motor tua. Dengan ramah Ia mempersilakan saya untuk duduk di sebuah lincak (kursi dari bilah-bilah bambu), “monggo..monggo” katanya. Saat itu, ia nampak kelelahan. Maklum saja, ia baru saja selesai rapat dengan relasi kerjanya.


Namanya AA Kunto A. Usianya 34 tahun. Ia terlihat begitu semangat dan bersahaja ketika berbicara. Sesekali celoteh lucu dan tawa renyah terlontar. Suasana pun terpecah riang. Menulis, menerbitkan, bersepeda, makan-makan, dan memaknai hidup, semua itu diilhami oleh pria ini.

Seakan tak pernah habis menyusuri keistimewaan Yogyakarta yang kental akan keramahan dan budaya yang kental. Keistimewaan Yogyakarta bertambah dengan adanya sebutan sebagai kota wisata buku. Bagaimana tidak? Dalam satu tahun saja di Yogyakarta sudah ada belasan pameran buku. Sebutan itu pun diperkuat oleh AA Kunto dengan didirikannya STMJ (Sekolah Tinggi Menulis Jogjakarta).

Karir menulisnya dimulai pada tahun 1994. Saat itu ia masih SMAia baru saja mengalami kecelakaan. Kakinya terpaksa harus diistirahatkan dan harus memakai alat bantu tongkat untuk berjalan. Namun demikian, sekolahnya mewajibkan semua muridnya mengikuti ekstrakurikuler sebagai syarat kenaikan kelas. Kebingungan melandanya, ia ingin mengikuti olah raga. Apa daya, kakinya tak menudukung untuk berolah raga.Kemudian ia memilih untuk mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik. Dari situ ia kemudian mendaftarkan diri menjadi reporter kolom remaja GEMA, halaman khusus untuk pelajar yang dikelola harian BERNAS. Perjalanan sebagai reporter berlanjut di saat ia kuliah di UGM, selama 1 tahun Kunto bergabung dengan majalah kampus bernama Balairung. Tak puas sampai situ, ia berpindah ke majalah Basis menjadi reporter selama tujuh tahun. Setelah lulus kuliah pada tahun 2003, ia hijrah ke Jakarta dan bekerja di majalah Marketing sebagai redaktur dan freelance sebagai ghostwriter. 2007 ia kembali ke Yogyakarta dan bekerja di penerbit Galang Press sebagai pemimpin redaksi.

Sebagai wartawan, berbagai penugasan jurnalistik telah dilalakoni. Sebagai editor, puluhan buku telah ia sunting. Sebagai penulis, banyak buku telah ia karang. Sebagai pembicara, forum pelatihan di berbagai kota di Indonesia juga telah ia hadiri. Hingga pada tahun 2010 ia bosan menjadi karyawan. Ia memilih keluar dari pekerjaan dan berwirausaha di bidang media.  Ia mendirikan sebuah penerbit kecil-kecilan, ia menyebut penerbit kaki lima.

Dalam tulisannya berjudul “Guru Samino” di blog-nya dan Kompasiana, dia bercerita banyak hal dan setelah saya baca, sepertinya pernyataan dari guru SMA-nya ini lah yang membakar semangatnya untuk berwiraswasta. Berikut saya kutip :

“Isih melu uwong, Le?” Masih bekerja ikut orang, Le? Ini pertanyaan latah yang kerap ia lontarkan jika kami bertandang di rumahnya, 1 km sebelah barat Candi Prambanan, Kalasan. Jika jawabannya “ya”, ia akan menghardik, “Isih dadi batur yen ngono?” Masih jadi pesuruh!

Di matanya, kartu nama kami, dengan embel-embel jabatan supervisor, manajer, bahkan direktur, tidaklah membuatnya kagum. Pamer apa pun di depannya tiada berguna. “Lehmu entuk duit seka ngendi kuwi?” cecarnya jika kami pamer gaji atau kekayaan. Selagi masih diperoleh dengan cara bekerja sebagai karyawan, di matanya nilai kami masih 6.
Bagi Samino, profil murid yang ia kagumi adalah mereka yang berani mandiri. Wiraswasta!

STMJ
26 Oktober 2011 di sore hari pukul 5 sore. Waktu itu gunung Merapi baru saja mengeluarkan wedus gembelnya. Di sebuah tempat bernama Solusi Distribusi, Kunto, Haryadi dan Lina sedang berdiskusi tentang seputar penerbitan. Muncullah ide untuk membentuk sebuah lembaga pelatihan menulis dan agensi naskah untuk penerbit. “Gagasan awal dari berdirinya STMJ adalah karena adanya gap antara penerbit dan penulis. Banyak penulis tersedia namun takut untuk menembus penerbit. Begitu pula pihak penerbit tak mengetahui banyak penulis. Banyak penerbit butuh penulis, banyak penulis butuh penerbit. Kami hadir di tengah-tengahnya”. Bagi kunto, penulis-baru tidak bisa dilepaskan begitu saja. “Biasanya penulis pasti ingin bukunya diterbitkan”, Kunto dan STMJ hadir dengan konsep pelatihan-menulis berbayar dengan garansi bahwa peserta pasti menghasilkan buku. “Kami memang menerapkan tarif tertentu tapi itu untuk pelatihan yang sifatnya kolektif dan jika kami diundang ke suatu tempat dalam jangka waktu tertentu”.

Pelatihan sesungguhnya ia berlakukan secara gratis. Bahkan, pelatihan menulis gratis ini boleh dikatakan privat. Mengapa? Penulis pemula dipersilakan mengajukan ide buku yang ingin ditulis dalam bentuk outline. Ide ini disampaikan secara online ataupun bisa datang sendiri kepada Kunto. Jika ide dan outline disetujui maka Kunto akan memberitahu penulis pemula itu tentang langkah apa yang harus dikerjakan. Langkah demi langkah sang penulis dibimbing sampai menghasilkan sebuah buku.
“Banyak sekolah menulis yang sudah ada seperti Indscript di Bandung, SMM di Semarang, RedCarpet di Jakarta, dan masih banyak lagi. Saya tegaskan bahwa kami memang meniru konsep mereka karena tujuannya sama, yaitu membuka wawasan manusia melalui tulisan”, kata pria yang hobi bersepeda ini.

Wisata Jurnalistik
Banyak wisatawan datang ke Yogyakarta. Biasanya mereka hanya punya cerita yang biasa-biasa saja. Mungkin hanya mendengar penjelasan dari pemandu wisata yang mendampingi. Cerita yang didapat akan terasa sangat membosankan. Kalau hanya melihat Kraton yang dilihat dari sudut pandang sebuah kerajaan, mungkin sudah semua orang mengetahui. Melihat gudeg dari sudut pandang makanannya, mungkin juga sudah banyak orang sudah mengerti. Kunto mengajak para wisatawan mengetahui dan mengabarkan Yogyakarta dari sudut pandang yang berbeda. “Temukan sendiri Jogjamu”, itulah prinsip yang diangkat Kunto dalam program wisata jurnalistik ini. Dengan kata lain, peserta akan menjadi pemandu untuk dirinya sendiri. Wisatawan atau peserta wisata jurnalistik akan diajak blusukan, peserta akan diajak ke tempat wisata yang diinginkan. Tentu, ada tarif tertentu yang harus dibayarkan. Lalu, di mana letak jurnalistiknya? “Program ini hanya dibuka pada musim liburan. Peserta akan diberikan materi : teknik wawancara, pengumpulan ide, dan teknik menulis cerita, teknik menulis feature. Biasanya tulisan hasil tulisan mereka ditampilkan melalui blog”. Menurutnya, dengan mengajak wisatawan mengetahui Yogyakarta dilihat dari sudut pandang yang berbeda berarti ia telah ikut membantu membuka wawasan banyak orang tentang Yogyakarta.
Kula Nuwun mas Kunto, saya nulis panjenengan njih hehe kritikannya saya terima. hehe

Saya akhiri tulisan ini dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer
Orang boleh pandai setinggi langit tetapi selama ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”

Jumat, 13 Januari 2012

Ngawul, Berburu Pakaian Bekas di Sekaten


Pasar Malam Perayaan Sekaten, atau oleh masyarakat sekitar akrab disebut dengan “Sekaten”, event budaya yang diadakan rutin di Alun-alun utara Kota Yogyakarta setiap tahun oleh Pemprov DIY ini menurut kalender Jawa dilaksanakan pada tanggal 5 bulan maulud. Acara ini dimaksudkan untuk memperingati maulud Nabi Mohammad SAW, juga sebagai syi'ar agama Islam pada waktu Sultan HB I dengan mengemasnya dalam berbagai pertunjukan dan pasar rakyat yang memasarkan souvenir dan kerajinan tangan lainnya.

Sekaten akan berlangsung selama 1 bulan penuh, dimulai pada tanggal 28 Desember 2011 sampai 5 Februari 2012. Tema PMPS kali ini adalah 'Harmoni Ekonomi, Budaya, dan Religi'. Sekaten tahun ini tak ada penarikan retribusi tiket (gratis) bagi para pengunjung.

Sekaten akan berlangsung selama 1 bulan penuh, dimulai pada tanggal 28 Desember 2011 sampai 5 Februari 2012 dan bertempat di Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. Dalam pasar malam sekaten ini, terdapat banyak sekali pilihan belanja dan hiburan permainan. Jajanan pasar, ratusan pilihan kuliner, aneka fesyen, barang-barang unik, serta yang paling diburu masyarakat Yogyakarta biasanya adalah “awul-awul”. Itu adalah istilah untuk penjual pakaian bekas sisa eksport. Dari anak muda hingga orang tua, baik siang, sore atau malam mereka akan “ngawul” (istilah untuk berburu pakaian bekas sisa eksport) sampai menemukan pakaian dan harga yang cocok. Jika beruntung, hanya dengan harga mulai dari 5000 sampai 50. 000, anda bisa mendapatkan pakaian keren yang berkualitas. Murah bukan?

Audisi Online Indonesian Idol 2012

Ada yang berbeda dengan audisi Indonesian Idol kali ini. Indonesian Idol 2012 menyediakan fasilitas online audition. Jadi, bagi anda yang tak mau berdesak-desakan antri bisa mencoba langkah ini. Anda cukup merekam penampilan bernyanyi dalam video format Quicktime Movie (.MOV), .AVI, .MPEG, .MPG, .MP4, .WMV, .FLV dan .3GP. Durasi perekaman adalah 2 menit dan untuk 30 menit awal boleh untuk memperkenalkan diri, itu berarti tak wajib memperkenalkan diri. Setelah selesai membuat video, langkah selanjutnya adalah memperhatikan ukuran file video tersebut karena file yang akan dikirim harus berukuran maksimal 10 Mb. Sebelum mengupload video, terlebih dulu anda harus mengisi formulir di sini lalu akan muncul langkah selanjutnya yaitu upload video. Informasi bisa anda dapatkan di sini.


Lucu
Sebenarnya, hal itu adalah sebuah informasi kecil saja karena informasi lengkap bisa anda akses di web resmi Indonesian Idol . siapa tau saja bisa membantu anda sekalian yang ingin mengikuti audisi online. Saya hanya mau bilang kalau banyak hal lucu yang bisa kita lihat. seperti dulu ada coba lagi award. masih ingat? bagian tayangan dari indonesian Indol yang menayangkan tingkah laku peserta unik atau pun yang nekat. tak perlu menunggu lama, kita bisa menyaksikan kelucuan dan keunikan ini yang bisa anda lihat di youtube IndonesianIdol2012's Channel

Kamis, 12 Januari 2012

Pawiwahan Ageng, Royal Wedding Ala Yogyakarta


Pernikahan adalah peristiwa yang sangat sakral. Peristiwa pengikatan cinta sehidup semati dengan pasangan. Pernikahan haruslah didasari cinta yang tulus dari dalam hati. Tak memandang apa dan siapa pasangan kita, termasuk tak memandang tingkatan derajat sosial. Hal ini terjadi pada pernikahan putri bungsu raja Kasultanan Yogyakarta, GKR Bendara dengan KPH Yudhanegara.


Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas telah menikahkan putri bungsunya, Gusti Raden Ajeng Nurastuti Wijareni yang kemudian bergelar GKR (Gusti Kanjeng Ratu) Bendara dengan seorang lelaki yang berasal dari Lampung yang notabene berasal dari luar kerajaan dan jauh dari darah kebangsawanan. Pria beruntung itu bernama Achmad Ubaidillah yang kemudian diberikan gelar KPH (Kanjeng Pangeran Harya) Yudhanegara.

Pantaslah pesta pernikahan kerajaan atau lebih dikenal dengan Pawiwahan Ageng ini disebut sebagai pernikahan agung. Acara ini tak kalah megahnya dengan pernikahan agung Pangeran William dengan Kate Middleton di Inggris. Keberadaan Kraton Yogyakarta tak hanya sebagai pewaris dari dinasti Mataram, namun juga sebagai pusat, pengembang, penjaga, dan pelestari budaya Jawa. Sebagaimana di berbagai negara yang mempunyai kerajaan dalam seremoni pernikahannya, pasti akan memperhatikan kental tradisi masing-masing. Seperti halnya dalam upacara pernikahan kerajaan Yogyakarta ini. Banyak sekali rangkaian upacara yang sarat akan makna dan filosofinya. Rangkaian upacara adat yang dilalui seperti, Tuguran nyantri, siraman, dhahar klimah, tantingan, ijab Kabul, panggih, pondhongan, dll, juga tak lupa, ada satu prosesi yang cukup unik yaitu ngedan, ini dilakukan oleh abdi dalem yang berdandan serba aneh dan compang-camping disertai tata rias yang mirip dengan seorang badut. Prosesi ini bisa dimaknai sebagai keseimbangan dalam kehidupan yang terus terjaga.

Perkawinan agung ini merupakan bukti kekayaan budaya Jawa - dalam hal ini adalah kebudayaan Yogyakarta yang mewakili kekayaan kebudayaan Indonesia. Tak heran jika rakyat Yogyakarta sangat bangga dan menyambut dengan meriah pernikahan agung ini.

Dihadiri para pemimpin
Sosok Sri Sultan HB X dan Kraton Yogyakarta mempunyai posisi yang khas di negara Indonesia ini. Maka, ketika beliau mempunyai acara besar, banyak orang penting mulai dari raja dari seluruh penjuru nusantara ini, para menteri, duta besar dari negara sahabat hingga Presiden Republik Indonesia pun datang untuk memberikan doa.

Orang-orang penting tersebut datang pada upacara panggih yang dilaksanakan pada hari ketiga rangkaian prosesi. Presiden, para duta besar, dan para menteri diberi kehormatan untuk duduk di samping Sultan dan menyaksikkan upacara panggih yang bertempat di Bangsal Kencana.

Menarik wisatawan
Peristiwa semacam ini sangat langka dijumpai. Tidak semua orang bisa menyelenggarakan. Wajar saja jika Pernikahan agung ini menarik perhatian, banyak sekali wisatawan baik lokal maupun asing.
Setelah melewati semua prosesi di dalam kerajaan, tibalah saat resepsi yang berbeda dengan pernikahan Kraton sebelumnya. Resepsi tak dilaksanakan di dalam benteng istana, namun di Bangsal Kepatihan yang merupakan kantor Gubernur, karena selain sebagai Raja, Sri Sultan HB X juga merupakan Gubernur Yogyakarta. Inilah kata sebagian besar orang Yogyakarta sebagai Hal yang istimewa, karena itu juga Yogyakarta mendapat sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pesta Rakyat
Rombongan pengantin akan kirab menuju Kepatihan menggunakan kereta kencana. Kereta yang digunakan yakni kereta bernama Jong Wiyat (kereta yang diproduksi di Belanda pada tahun 1881 dan sampai sekarang masih disimpan di museum Kraton). Saat kirab ini banyak sekali warga dan para wisatawan berebut untuk menyaksikan.

Sore itu sekitar pukul 14.00, alun-alun utara dan sepanjang Jalan Malioboro sudah dipadati lautan manusia. Mereka berkerumun demi melihat pasangan dari putri raja Yogyakarta yang akan dikirab. Berbeda halnya dengan para wisatawan, mereka hadir untuk menyaksikan seperti apa kemegahan royal weddingnya Yogyakarta ini.

Tak hanya mengenai kemegahan kirab yang melibatkan para pangeran dengan kereta kebesaran kerajaan dan para bergada Kraton. Kemegahan ini juga bisa tampak dari peran warga dari berbagai golongan. Peran masyarakat juga diwujudkan oleh berbagai kelompok, komunitas dan organisasi yang menyediakan berbagai macam makanan dan minuman yang tersaji dalam gerobak angkringan dan dapat dinikmati secara gratis. Semua makanan dan minuman yang gratis ini disiapkan secara sukarela dengan maksud untuk mengucapkan selamat atas pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudhanegara.

Pada pukul 16.30, ratusan ribu manusia yang berada di sepanjang Jalan Malioboro semakin histeris ketika rombongan pengantin melintas. Warga saling berteriak dan melambaikan tangan menyapa pasangan tersebut sambil berteriak memanggil “mas Ubay…jeng reni”. Senyum sapa ramah dan lambaian tangan yang juga dilayangkan oleh pasangan pengantin itu semakin membuat warga bahagia dan suasana semakin meriah. Menjelang malam, rombongan kirab pengantin itu tiba di Bangsal Kepatihan.