Minggu, 20 Mei 2012

Saya Tidak Suka Senioritas..!

Saya paling benci dengan senioritas (yang dimaksud adalah kesenioran yang kurang menghargai junior) ataupun anggapan “Kamu itu anak baru”. Mengapa? Buat saya, hal semacam itu kurang menghargai. Bisa saya bilang kurang memanusiakan manusia.

Ada seseorang yang mengatai “kamu itu anak baru” saja rasanya saya dianggap kurang mampu dan sangat rendah. Pernah, di suatu kesempatan, seorang kawan berkata “hey, ke sini! Kenalan dulu, kamu kan anak baru, masa iya aku yang ke sana”. Ada lagi beberapa teman berkata “kamu itu anak baru lho, kok berani-beraninya bercanda sampe ejek-ejekan sama kami yang udah lebih senior”. Miris rasanya mendengar itu. Memangnya ada perbedaan hak? Yang membuat beda hanya durasi. Bukan hak. Memang, tak semua kawan yang seperti itu. Namun, sebagian besar menyampaikan hal itu. Saya kurang tau, hal itu terjadi karena kebiasaan bersama atau karena sifat asli.

Sebenarnya, masalahnya hanya sederhana. Kalau kita mau bersikap terbuka dan saling melayani maka masalah akan selesai. Ada yang salah ya kalau kawan yang sudah lebih dulu berada di sana mendatangi saya dengan hanya berjalan beberapa langkah kemudian memberi salam dan senyum? Harus anak baru kah yang melakukannya?
Buat saya, terbuka, bersahabat, dan melayani adalah kunci kedekatan emosi dengan seseorang. Ngobrol secara akrab dan senyum jujur, bukan senyum palsu membuat saling merasa nyaman antara 2 atau lebih komunikan. Kira-kira, apa yang akan didapat dari senioritas jika tak ada senyum kejujuran dan keterbukaan? Mungkin yang ada hanya penindasan dan kebencian. Pertemanan pun tak akan setulus jika kita bisa bersahabat dan terbuka.

Kalau kita melihat ke masa sekolah atau kuliah, saat pertama kali masuk, kita akan mendapat perlakuan khusus dari kakak angkatan (baca:senior). Biasanya para senior itu memberikan gertakan dan perlakuan kurang adil. 1. Senior tidak pernah salah. 2. Anak baru tidak boleh salah, jika salah akan dihukum. 3. Anak baru harus menurut apa kata senior. 4. Jika senior salah, ingat nomor 1. Apa maksud para senior itu? Minta dihargai? Atau hanya mengerjai?
Barangkali, para senior itu melakukan hal tersebut karena ingin mendidik para junior agar bisa menghargai dan menghormati, tapi apakah efektif? Saya rasa…tidak…! Mau dihormati kok minta. Akan lebih baik kalau para senior itu menunjukkan keramahan, persahabatan, momong, dan keterbukaan. Otomatis,para adik (baca:junior) akan menghormati karena segan dan lebih menghargai. Sikap seperti ini akan menjadikan hubungan menjadi lebih dekat.

Pada saat kuliah, saya tak mengalami senioritas seperti yang pernah saya lihat di televisi. Saya kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD). Di kampus tak ada istilah ospek ataupun penggojlogan dengan cara keras dan melecehkan. Kalau di kampus saya, kegiatan ospek digantikan dengan kegiatan dengan nama INSADHA (Inisiasi Sanata Dharma). Tujuannya hanyalah memperkenalkan mengenai kampus secara keseluruhan. Dalam acara itu, para kakak angkatan baik yang panitia maupun yang bukan panitia memperlakukan dengan sopan, ramah, momong, dan terbuka. Tak jarang senyum dan sapa terlontar. Di sana, kami para peserta diajak berdinamika, dihibur dengan musik, tari, film, dll. Dari yang saya tau, sepertinya hanya USD yang menerapkan sistem yang mengasikkan seperti itu. Para peserta insadha dan panitia pun cepat akrab. Materi yang diberikan selama berdinamika pun dapat mudah diterima. Sebagai mahasiswa yang baru masuk, saya merasa sangat dihargai. Begitu pula pada saat saya menjadi panitia. Energi saling menghargai pun saya rasakan. Tak ada sedikitpun niat untuk menindas para mahasiswa baru. Pantas jika kampus USD menjuluki diri sebagai “kampus humanis”.
Saya mengajak siapa saja yang masih berpikiran bahwa “senior lebih berkuasa” untuk melenyapkan pemikiran itu perlahan, sukur sukur kalo langsung bisa lenyap. Tak ada gunanya dan hanya akan tumbuh dendam. Silakan manusiakan manusia. Hargai sesamamu… Salam dari Yogyakarta..

Selasa, 15 Mei 2012

Angklung Jalanan, Penghias Suasana Malioboro

Angklung memang bukanlah alat musik khas Yogyakarta. Namun, di tangan anak-anak muda ini, angklung menjadi daya tarik khusus di sepanjang jalan Malioboro di sore hingga malam hari.

foto : http://gambar.mitrasites.com/malioboro.html
Ketika itu matahari tak terlalu terik, awan pun tak mengandung warna mendung. Di bawah jembatan Badran, sekelompok anak muda tampak menyiapkan seperangkat alat musik dari bambu. Sesekali angklung itu dipukul untuk mengisi kekosongan waktu sambil melakukan pemanasan. Seorang dari mereka beberapa kali mereka menyisir rambutnya agar tetap klimis. Maklum, mereka mau ngamen di jalan Malioboro, tampilannya harus tetap menarik demi memikat penontonnya nanti. Seketika seorang tukang becak menghampiri mereka dan mulai mengangkat semua alat musik tadi dan mendudukkannya dalam kursi becak. Penuh memang, bahkan tak cukup lagi untuk diduduki satu orang pun. Si klimis mulai berinisiatif memanggil 2 becak untuk mengangkut mereka menuju ke jalan Malioboro.

Ya, seperti itulah keseharian mereka. Mengumpulkan semangat sambil bersantai sebelum bekerja. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Purwokerto. Di Yogyakarta mereka mempunyai sebuah paguyuban angklung tradisional bernama “Kridotomo”. Paguyuban ini didirikan sejak tahun 2008.

“Biasanya pada siang hari kami ngamen di selatan pasar Beringharjo, kadang di sore hari kami juga ngamen di depan toko Ramai” kata Joko, salah seorang pemain angklung. Banyak orang tertarik melihat mereka. Suara dentingan angklung dan tabuhan alat musik meresap ke hati. Suara bilah-bilah bambu yang terdengar tak membuat telinga bising, bahkan terdengar nyaman. Biasanya mereka memainkan musik seperti dangdut, campur sari, pop, lagu daerah, dan masih banyak lagi. Dalam sehari mereka bisa memainkan lebih dari 50 lagu.

Angklung memang berasal dari Jawa Barat. Namun, daerah Banyumas mempunyai ciri khas angklung sendiri. Mereka menyebutnya “Angklung Banyumasan” atau “Kenthongan”. Di daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan sekitarnya, setiap kampung pasti punya grup angklung. Terutama pada saat bulan puasa musik ini dipakai untuk membangunkan pada saat sahur dan biasanya dimainkan oleh 30 orang. Pada hari biasa musik ini sering dimainkan pada saat ronda. Pun saat acara kebudayaan, angklung selalu dimainkan. Lama kelamaan, karena musik ini banyak digemari dan nyaman didengarkan maka orang sana menangkap peluang untuk menyebarkannya ke berbagai kota, salah satunya Yogyakarta dan diterima dengan baik”, kata Supraptyo, pemimpin paguyuban Angklung Kridotomo. Ada yang menyebut Calunk Funky, ada pula yang menyebut Pengamen Angklung, dan ada orang asing yang menyebutnya Malioboro Street angklung.
Ditemani temaram lampu Malioboro; gambang kecil, angklung renteng, marakas, bedug kecil, bedug bass dari, dan cymbal kecil mereka mainkan di sepanjang jalan Malioboro. Memang, ada beberapa grup angklung yang ada di sana, tak hanya grup angklung Kridotomo. Biasanya mereka sudah punya atribut dan seragam masing-masing. Tak ada yang berbeda dari kualitas mereka, semuanya memainkan angklung-angklung itu dengan indah.

Sebuah kardus kosong mereka tempatkan di atas sebuah kursi plastik. Seribu, dua ribu, tak jarang sepuluh ribu rupiah kardus itu mulai terisi. Satu per satu lagu mulai mereka mainkan. Sesekali  mereka bernyanyi bersama-sama. Pengendara mobil dan motor yang melintasi mereka pun menyempatkan untuk melirik, bahkan berhenti sejenak untuk sekedar menikmati sesaat. Pejalan kaki yang melintasi pun tak bisa melewatkan pesona mereka. Dalam setiap penampilan, mereka selalu ditonton layaknya sedang konser. Tak jarang, saking asiknya menikmati, seorang penonton ikut hanyut dalam alunan musik bambu ini dan bergoyang sambil bernayanyi.

Seorang wanita muda tampak sangat menikmati permainan angklung. Sudah banyak yang ia dengar mengenai permainan angklung di Malioboro. “ Musik seperti ini layak untuk diapresiasi. Wajar saja jika banyak orang yang memberi mereka uang karena materi dan kualitas para pemain angklung ini bukan seperti pengamen yang asal-asalan”, jelasnya dengan terkagum melihat para pemain angklung.
Sering kali grup angklung ini dipanggil untuk mengisi dalam sebuah acara. Mereka sudah memasang tarif untuk setiap penampilannya. 500.000 untuk penampilan selama satu jam, tampaknya adalah harga yang pantas. Barangkali Anda juga ingin menikmatinya? Silakan datang atau mengundang mereka.

Senin, 14 Mei 2012

AA Kunto A, Pendiri Perguruan Menulis

“Menulis adalah berekspresi, sama dengan berbicara. Semua orang bisa berbicara maka semua orang bisa menulis. Akan aneh bila seseorang yang normal tidak berbicara, begitu pula akan aneh jika tidak menulis. Menulis itu mudah. Semua orang pasti bisa menulis” (AA Kunto A)



Di suatu pagi saat matahari belum terlalu terik, seorang lelaki datang dengan mengendarai motor tua. Dengan ramah Ia mempersilakan saya untuk duduk di sebuah lincak (kursi dari bilah-bilah bambu), “monggo..monggo” katanya. Saat itu, ia nampak kelelahan. Maklum saja, ia baru saja selesai rapat dengan relasi kerjanya.



Namanya AA Kunto. Usianya 34 tahun. Ia terlihat begitu semangat dan bersahaja ketika berbicara. Sesekali celoteh lucu dan tawa renyah terlontar. Suasana pun terpecah riang. Menulis, menerbitkan, bersepeda, makan-makan, dan memaknai hidup, semua itu diilhami oleh pria ini.


Seakan tak pernah habis menyusuri keistimewaan Yogyakarta yang kental akan keramahan dan budaya yang kental. Keistimewaan Yogyakarta bertambah dengan adanya sebutan sebagai kota wisata buku. Bagaimana tidak? Dalam satu tahun saja di Yogyakarta sudah ada belasan pameran buku. Sebutan itu pun diperkuat oleh AA Kunto dengan didirikannya STMJ (Sekolah Tinggi Menulis Jogjakarta).

Karir menulisnya dimulai pada tahun 1994. Saat itu ia masih SMAia baru saja mengalami kecelakaan. Kakinya terpaksa harus diistirahatkan dan harus memakai alat bantu tongkat untuk berjalan. Namun demikian, sekolahnya mewajibkan semua muridnya mengikuti ekstrakurikuler sebagai syarat kenaikan kelas. Kebingungan melandanya, ia ingin mengikuti olah raga. Apa daya, kakinya tak menudukung untuk berolah raga.Kemudian ia memilih untuk mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik. Dari situ ia kemudian mendaftarkan diri menjadi reporter kolom remaja GEMA, halaman khusus untuk pelajar yang dikelola harian BERNAS. Perjalanan sebagai reporter berlanjut di saat ia kuliah di UGM, selama 1 tahun Kunto bergabung dengan majalah kampus bernama Balairung. Tak puas sampai situ, ia berpindah ke majalah Basis menjadi reporter selama tujuh tahun. Setelah lulus kuliah pada tahun 2003, ia hijrah ke Jakarta dan bekerja di majalah Marketing sebagai redaktur dan freelance sebagai ghostwriter. 2007 ia kembali ke Yogyakarta dan bekerja di penerbit Galang Press sebagai pemimpin redaksi.

Sebagai wartawan, berbagai penugasan jurnalistik telah dilalakoni. Sebagai editor, puluhan buku telah ia sunting. Sebagai penulis, banyak buku telah ia karang. Sebagai pembicara, forum pelatihan di berbagai kota di Indonesia juga telah ia hadiri. Hingga pada tahun 2010 ia bosan menjadi karyawan. Ia memilih keluar dari pekerjaan dan berwirausaha di bidang media.  Ia mendirikan sebuah penerbit kecil-kecilan, ia menyebut penerbit kaki lima.

Dalam tulisannya berjudul “Guru Samino” di blog-nya dan Kompasiana, dia bercerita banyak hal dan setelah saya baca, sepertinya pernyataan dari guru SMA-nya ini lah yang membakar semangatnya untuk berwiraswasta. Berikut saya kutip :

“Isih melu uwong, Le?” Masih bekerja ikut orang, Le? Ini pertanyaan latah yang kerap ia lontarkan jika kami bertandang di rumahnya, 1 km sebelah barat Candi Prambanan, Kalasan. Jika jawabannya “ya”, ia akan menghardik, “Isih dadi batur yen ngono?” Masih jadi pesuruh!

Di matanya, kartu nama kami, dengan embel-embel jabatan supervisor, manajer, bahkan direktur, tidaklah membuatnya kagum. Pamer apa pun di depannya tiada berguna. “Lehmu entuk duit seka ngendi kuwi?” cecarnya jika kami pamer gaji atau kekayaan. Selagi masih diperoleh dengan cara bekerja sebagai karyawan, di matanya nilai kami masih 6.
Bagi Samino, profil murid yang ia kagumi adalah mereka yang berani mandiri. Wiraswasta!

STMJ
26 Oktober 2011 di sore hari pukul 5 sore. Waktu itu gunung Merapi baru saja mengeluarkan wedus gembelnya. Di sebuah tempat bernama Solusi Distribusi, Kunto, Haryadi dan Lina sedang berdiskusi tentang seputar penerbitan. Muncullah ide untuk membentuk sebuah lembaga pelatihan menulis dan agensi naskah untuk penerbit. “Gagasan awal dari berdirinya STMJ adalah karena adanya gap antara penerbit dan penulis. Banyak penulis tersedia namun takut untuk menembus penerbit. Begitu pula pihak penerbit tak mengetahui banyak penulis. Banyak penerbit butuh penulis, banyak penulis butuh penerbit. Kami hadir di tengah-tengahnya”. Bagi kunto, penulis-baru tidak bisa dilepaskan begitu saja. “Biasanya penulis pasti ingin bukunya diterbitkan”, Kunto dan STMJ hadir dengan konsep pelatihan-menulis berbayar dengan garansi bahwa peserta pasti menghasilkan buku. “Kami memang menerapkan tarif tertentu tapi itu untuk pelatihan yang sifatnya kolektif dan jika kami diundang ke suatu tempat dalam jangka waktu tertentu”.

Pelatihan sesungguhnya ia berlakukan secara gratis. Bahkan, pelatihan menulis gratis ini boleh dikatakan privat. Mengapa? Penulis pemula dipersilakan mengajukan ide buku yang ingin ditulis dalam bentuk outline. Ide ini disampaikan secara online ataupun bisa datang sendiri kepada Kunto. Jika ide dan outline disetujui maka Kunto akan memberitahu penulis pemula itu tentang langkah apa yang harus dikerjakan. Langkah demi langkah sang penulis dibimbing sampai menghasilkan sebuah buku.
“Banyak sekolah menulis yang sudah ada seperti Indscript di Bandung, SMM di Semarang, RedCarpet di Jakarta, dan masih banyak lagi. Saya tegaskan bahwa kami memang meniru konsep mereka karena tujuannya sama, yaitu membuka wawasan manusia melalui tulisan”, kata pria yang hobi bersepeda ini.

Wisata Jurnalistik
Banyak wisatawan datang ke Yogyakarta. Biasanya mereka hanya punya cerita yang biasa-biasa saja. Mungkin hanya mendengar penjelasan dari pemandu wisata yang mendampingi. Cerita yang didapat akan terasa sangat membosankan. Kalau hanya melihat Kraton yang dilihat dari sudut pandang sebuah kerajaan, mungkin sudah semua orang mengetahui. Melihat gudeg dari sudut pandang makanannya, mungkin juga sudah banyak orang sudah mengerti. Kunto mengajak para wisatawan mengetahui dan mengabarkan Yogyakarta dari sudut pandang yang berbeda. “Temukan sendiri Jogjamu”, itulah prinsip yang diangkat Kunto dalam program wisata jurnalistik ini. Dengan kata lain, peserta akan menjadi pemandu untuk dirinya sendiri. Wisatawan atau peserta wisata jurnalistik akan diajak blusukan, peserta akan diajak ke tempat wisata yang diinginkan. Tentu, ada tarif tertentu yang harus dibayarkan. Lalu, di mana letak jurnalistiknya? “Program ini hanya dibuka pada musim liburan. Peserta akan diberikan materi : teknik wawancara, pengumpulan ide, dan teknik menulis cerita, teknik menulis feature. Biasanya tulisan hasil tulisan mereka ditampilkan melalui blog”. Menurutnya, dengan mengajak wisatawan mengetahui Yogyakarta dilihat dari sudut pandang yang berbeda berarti ia telah ikut membantu membuka wawasan banyak orang tentang Yogyakarta.
Kula Nuwun mas Kunto, saya nulis panjenengan njih hehe kritikannya saya terima. hehe

Saya akhiri tulisan ini dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer
Orang boleh pandai setinggi langit tetapi selama ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”

Jumat, 11 Mei 2012

Salah Mengerti Kata “Yatim”

Salah pengartian kata-kata dalam Bahasa Indonesia kembali saya temukan. Rata-rata, kesalahan pengartian itu didapat dari guru sekolah dan apa yang didengar di televisi.
Beberapa waktu lalu, teman saya mengirim sebuah pertanyaan di di grup BBM. Begini :

Salah satu soal ujian Bahasa Indonesia.
Pilihlah mana yang benar

a. Anak yatim itu dipukuli ayah kandungnya.
b. Anak yatim itu dipukulkan ayah kandungnya.
c. Anak yatim itu di pukuli ayah kandungnya.
d. Anak yatim itu di pukulkan ayah kandungnya.

Hayo siapa yang bisa jawab soal ini.

Beberapa teman memilih jawaban A, beberapa berkata tidak ada jawaban benar. Lalu ada pertanyaan “Kok jawab A kenapa?” teryata alasannya adalah “dipukuli itu yang bener disambung, bukan dipisah jadi di pukuli.” Menurut buku EYD, alasan ini benar. didan i dalam kata dipukuli adalah sebuah imbuhan yang ditulis serangkai dengan kata dasar. Sedangkan jika kata depan di memang ditulis terpisah dari kata dasar. Contoh kata depan di : di kantor , di sana , dll.

Sedangkan beberapa teman yang sudah pernah mendapatkan pertanyaan ini menertawakan teman yang menjawab A. Dengan santai mereka bilang “Goblog, pasti nggak lulus SD. Anak yatim kan sudah tidak punya ayah”. Setelah membaca ini, saya teringat dulu saat masih duduk di SD, guru PPKN dan Bahasa Indonesia dengan tegas menjelaskan bahwa anak yatim adalah anak yang sudah tidak punya ayah, sedangkan anak piatu adalah anak yang sudah tak mempunyai ibu. Dan benar, setelah saya tanya kepada teman-teman, mereka mengacu pada penjelasan guru di waktu SD dan SMP. Mereka menunjukkan bukti catatan dan buku paket yang masih disimpan. Beberapa memotretnya dan di-upload di grup Blackberry. Saya tertawa kecil sambil mengenang masa itu.

Semasa kuliah, dosen saya pernah menjelaskan tentang hal ini. Kata anak yatim, adalah sebutan untuk anak yang sudah tidak mempunyai salah satu orang tua, tak punya ayah atau tak punya ibu. Hanya salah satu. Bisa juga disebut anak piatu. Maknanya sama. Kemudian saya coba cek di Kamus Besar Bahasa Indonesia dan KBBI online karena dua sumber itu yang saya yakini bisa menjadi patokan.

ya·tim a tidak beribu atau tidak berayah lagi (krn ditinggal mati);

Begitulah kira-kira isinya. Sedangkan jika yatim piatu adalah anak yang sudah tidak punya kedua orang tua. Lalu siapa yang keliru? Bukan saatnya menyalahkan. Namun, akan lebih baik jika para guru SD sebaiknya membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup dan terpercaya. Mereka adalah salah satu penentu masa depan bangsa. SD adalah dasar dari sebuah pendidikan, jika dasarnya ditanamkan kekeliruan maka akan yang akan tumbuh juga sebuah kekeliruan. Memang, kekeliruan semacam ini bisa diperbaiki di saat pendidikan selanjutnya. Namun demikian, mengapa tidak dilaksanakan dari dasar? Semakin banyak yang keliru, semakin banyak pula yang harus diperbaiki. Semoga adik-adik kita akan mendapatkan hak mereka untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Salam dari Yogyakarta.

Selasa, 08 Mei 2012

Hamzah, Mengenalkan dan Mengajak Belajar Seni Budaya Yogyakarta


Diawali dengan menyukai seni budaya Jawa, Hamzah hadir menjadi pengusaha sukses yang menampilkan suasana usaha serba Yogyakarta

Jika Anda pernah berkunjung ke Mirota Batik dan The House Of Raminten, pasti akan merasakan suasana khas Yogyakarta. Suara tabuhan gamelan, tampilan bunga sesaji, kereta kencana, pakaian adat, batik, dan suasana ramah menjadi pemanis suasana di kedua tempat itu.

Keberhasilan Hamzah, pria 62 tahun, pemilik Mirota Batik dan The House of Raminten ini mengawalinya dari kecintaannya terhadap kesenian Jawa. Diawali pada saat dirinya berumur 6 tahun, ibunya mengajaknya untuk mengikuti kursus menari Jawa Mataraman di rumah Walikota Yogyakarta pada saat itu, Pak Purwokusumo. Dari saat itu, dia menyukai karawitan, menari klasik, nembang, wayang orang, ketoprak. “awal mulanya ya ibu saya yang mengursuskan saya di rumah Pak Purwokusumo itu, kalau ditanya apa sebabnya saya suka seni budaya Jawa, tapi banyak orang yang tidak menyukai, tapi kok saya suka” jelasnya.

Meskipun sang ibu berasal dari keturunan Tionghoa, namun jiwanya lebih Jawa daripada orang Jawa. Hamzah menjelaskan “Beliau pun juga sangat suka dengan budaya Jawa, beliau bisa menari dan jaman dulu suka mendengarkan siaran ketoprak di radio” 

Di umurnya yang sudah tidak muda lagi, Hamzah masih tetap belajar menari Jawa Klasik. “Sampai saat ini, setiap hari selasa saya masih latihan menari. Saya diajar oleh Pak Matheus Anwar Santosa. Beliau mengajar tari Gaya Yogyakarta yang sudah jarang ditarikan oleh kebayakan orang seperti Serimpi Pandenori dan Bedhaya Kakung” tutur pria yang pandai mendesain pakaian ini. Pada umumnya tarian klasik di jaman sekarang sudah dimodifikasi, yang tadinya berdurasi kurang lebih dua jam kini hanya dipersingkat menjadi hanya 45 menit saja.  Keinginannya dalam mempelajari tari begitu besar. Meskipun dalam mempelajari tari klasik Jawa terkenal sangat berat, hamzah rela meluangkan waktunya walau dalam kurun 3 tahun, namun ia hanya mempelajari 3 repertoar tari saja.

Perjuangannya dalam bidang seni budaya Jawa tak berhenti sampai di situ saja. Dulu, ia mendirikan group tari bersama Lies Apriani yang kemudian dikenal dengan nama Grup Malem seton. Dinamakan demikian karena dulunya grup ini berlatih setiap Jumat malam atau malam Sabtu. Sekarang grup tersebut sudah berganti latihan pada hari Selasa malam. Grup ini didirikan atas dasar pengabdiannya terhadap seni budaya. Bagaimana tidak, latihan tari terbuka bagi ibu-ibu dari mana pun dan tidak dipungut biaya. Grup ini pun sering pentas di Bangsal Srimanganti Kraton Yogyakarta. Sejak puluhan tahun yang lalu hingga sekarang, grup tari ini semakin bertambah peminatnya. Barangkali ada dari Anda para pembaca sekalian yang ingin bergabung, pintu sangat terbuka lebar. Mungkin Anda juga bisa ikut untuk bersama-sama belajar tentang tari klasik.

Tak mau kalah dengan para ibu-ibu di luar sana yang berlatih tari di area Mirota Batik, karyawan Mirota Batik pun mempunyai group karawitan. Pada awalnya Hamzah mempunyai seperangkat gamelan dan kebetulan ada  salah satu karyawan dari mirota batik yang hobi dengan karawitan. Kemudian ia mengumpulkan data tentang karyawannya yang lain yang juga tertarik pada karawitan. Setelah terkumpul, terbentuklah grup karawitan karyawan yang diampu oleh pelatih dari Kraton Yogyakarta, Pak Fuad. Seperti pada grup tari Malem Seton, Perhatian Hamzah terhadap kelangsungan seni budaya memang cukup besar. Grup karawitan ini juga tak dipungut biaya sedikit pun. Segala biaya sudah ditanggung olehnya. Namun, agak berbeda dengan grup tari, grup karawitan ini diperlakukan denda untuk anggota yang tidak hadir tanpa alas an yang jelas. “konsekuensinya ya ada denda, makanya mereka pasti datang, ya walau pun mungkin terpaksa takut didenda..ha ha ha”, candanya.

Ruang Usaha 
Yogyakarta adalah salah satu kota tujuan wisata yang cukup tersohor di bumi pertiwi ini. Banyak potensi yang ada di dalamnya, seperti banyak kerajinan wayang kulit, topeng, dan kerajinan lainnya. Hamzah, mempunyai inisiatif untuk mengangkat potensi tersebut. Ia mendatangi sendiri para perajin dan memboyong karya-karya para perajin untuk dijual di tokonya. Kadang, jika mempunyai ide kerajinan baru, ia kemudian menggambarnya dan mengonsep dalam bentuk sketsa kemudian mendiskusikan kepada para perajin untuk mewujudkan ide tersebut ke dalam bentuk fisik. Karena ketekunannya merangkul perajin ini, ia saat ini menjadi salah satu pengurus Dewan Kerajinan Nasional Propinsi DIY.

Keinginan mengangkat potensi Yogyakarta tak hanya soal kerajinan. Di semua tempat usahanya, selalu kita akan menemui suasana pakaian dan suasana dengan sentuhan adat Yogyakarta.  Di Mirota Batik misalnya selain lantunan suara gamelan, biasanya kita akan melihat orang berpakaian surjan atau kebaya di pintu masuk, koleksi kereta, dan banyak dagangan bernuansa adat, seperti permainan tradisional, batik dan banyak hal lagi.

Demikian pula di warungnya The House Of Raminten. “Tempat ini dulunya tidak dirancang untuk laris, tapi kok sekarang laris” candanya.Pertama kali kita masuk pasti akan mendengar lantunan suara gamelan dan tampilan kereta. Kita pun juga akan disambut para karyawannya yang menggunakan pakaian dengan sentuhan Yogyakarta. Menu makanannya pun juga menawarkan makanan yang khas Yogyakarta. Awalnya, warung ini hanya menjual jamu dan beberapa makanan khas Yogyakarta. Namun karena semakin laris, sekarang menunya sudah sangat banyak dan mempunyai nama yang unik. Wedang prawan tancep misalnya, nama ini dibuat demikian karena resep menu tersebut didapat dari Dusun Tancep, Wonosari.

“Yogyakarta sebagai tujuan wisata harus disyukuri, oleh sebab itu makanan, pakaian, suasananya juga Yogyakarta. Suasana toko kan juga sangat Jogja, ya suasana kan juga bisa dijual”, katanya.

Perjalanan karis bisnisnya pun pernah mengalami keterpurukan. Pada tahun 2004, tokonya yang terletak di ujung selatan Jalan Malioboro ini pernah mengalami musibah kebakaran. Semua isinya terbakar habis. Hamzah mendapatkan dukungan dari banyak teman dan para karyawannya. Dari keterpurukan tersebut, ia tak memecat satu pun karyawannya. Mereka bergotong-royong membangun lagi tempat tersebut. “ini adalah pengalaman yang orang lain tidak punya namun saya punya. Saya bersyukur saja pernah mengalami seperti itu. Walau pun harta benda telah habis namun dukungan dari para teman telah menguatkan saya. Saya harus kuat dan ini harus berdiri lagi”. Pribadi yang ramah membuat Hamzah dicintai banyak kawan. Akhirnya kini tempat usahanya telah kembali berdiri dan menjadi tujuan para wisatawan dan tetap mempertahankan suasana khas Yogyakarta.