Minggu, 20 Mei 2012

Saya Tidak Suka Senioritas..!

Saya paling benci dengan senioritas (yang dimaksud adalah kesenioran yang kurang menghargai junior) ataupun anggapan “Kamu itu anak baru”. Mengapa? Buat saya, hal semacam itu kurang menghargai. Bisa saya bilang kurang memanusiakan manusia.

Ada seseorang yang mengatai “kamu itu anak baru” saja rasanya saya dianggap kurang mampu dan sangat rendah. Pernah, di suatu kesempatan, seorang kawan berkata “hey, ke sini! Kenalan dulu, kamu kan anak baru, masa iya aku yang ke sana”. Ada lagi beberapa teman berkata “kamu itu anak baru lho, kok berani-beraninya bercanda sampe ejek-ejekan sama kami yang udah lebih senior”. Miris rasanya mendengar itu. Memangnya ada perbedaan hak? Yang membuat beda hanya durasi. Bukan hak. Memang, tak semua kawan yang seperti itu. Namun, sebagian besar menyampaikan hal itu. Saya kurang tau, hal itu terjadi karena kebiasaan bersama atau karena sifat asli.

Sebenarnya, masalahnya hanya sederhana. Kalau kita mau bersikap terbuka dan saling melayani maka masalah akan selesai. Ada yang salah ya kalau kawan yang sudah lebih dulu berada di sana mendatangi saya dengan hanya berjalan beberapa langkah kemudian memberi salam dan senyum? Harus anak baru kah yang melakukannya?
Buat saya, terbuka, bersahabat, dan melayani adalah kunci kedekatan emosi dengan seseorang. Ngobrol secara akrab dan senyum jujur, bukan senyum palsu membuat saling merasa nyaman antara 2 atau lebih komunikan. Kira-kira, apa yang akan didapat dari senioritas jika tak ada senyum kejujuran dan keterbukaan? Mungkin yang ada hanya penindasan dan kebencian. Pertemanan pun tak akan setulus jika kita bisa bersahabat dan terbuka.

Kalau kita melihat ke masa sekolah atau kuliah, saat pertama kali masuk, kita akan mendapat perlakuan khusus dari kakak angkatan (baca:senior). Biasanya para senior itu memberikan gertakan dan perlakuan kurang adil. 1. Senior tidak pernah salah. 2. Anak baru tidak boleh salah, jika salah akan dihukum. 3. Anak baru harus menurut apa kata senior. 4. Jika senior salah, ingat nomor 1. Apa maksud para senior itu? Minta dihargai? Atau hanya mengerjai?
Barangkali, para senior itu melakukan hal tersebut karena ingin mendidik para junior agar bisa menghargai dan menghormati, tapi apakah efektif? Saya rasa…tidak…! Mau dihormati kok minta. Akan lebih baik kalau para senior itu menunjukkan keramahan, persahabatan, momong, dan keterbukaan. Otomatis,para adik (baca:junior) akan menghormati karena segan dan lebih menghargai. Sikap seperti ini akan menjadikan hubungan menjadi lebih dekat.

Pada saat kuliah, saya tak mengalami senioritas seperti yang pernah saya lihat di televisi. Saya kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD). Di kampus tak ada istilah ospek ataupun penggojlogan dengan cara keras dan melecehkan. Kalau di kampus saya, kegiatan ospek digantikan dengan kegiatan dengan nama INSADHA (Inisiasi Sanata Dharma). Tujuannya hanyalah memperkenalkan mengenai kampus secara keseluruhan. Dalam acara itu, para kakak angkatan baik yang panitia maupun yang bukan panitia memperlakukan dengan sopan, ramah, momong, dan terbuka. Tak jarang senyum dan sapa terlontar. Di sana, kami para peserta diajak berdinamika, dihibur dengan musik, tari, film, dll. Dari yang saya tau, sepertinya hanya USD yang menerapkan sistem yang mengasikkan seperti itu. Para peserta insadha dan panitia pun cepat akrab. Materi yang diberikan selama berdinamika pun dapat mudah diterima. Sebagai mahasiswa yang baru masuk, saya merasa sangat dihargai. Begitu pula pada saat saya menjadi panitia. Energi saling menghargai pun saya rasakan. Tak ada sedikitpun niat untuk menindas para mahasiswa baru. Pantas jika kampus USD menjuluki diri sebagai “kampus humanis”.
Saya mengajak siapa saja yang masih berpikiran bahwa “senior lebih berkuasa” untuk melenyapkan pemikiran itu perlahan, sukur sukur kalo langsung bisa lenyap. Tak ada gunanya dan hanya akan tumbuh dendam. Silakan manusiakan manusia. Hargai sesamamu… Salam dari Yogyakarta..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar