Selasa, 08 Mei 2012

Hamzah, Mengenalkan dan Mengajak Belajar Seni Budaya Yogyakarta


Diawali dengan menyukai seni budaya Jawa, Hamzah hadir menjadi pengusaha sukses yang menampilkan suasana usaha serba Yogyakarta

Jika Anda pernah berkunjung ke Mirota Batik dan The House Of Raminten, pasti akan merasakan suasana khas Yogyakarta. Suara tabuhan gamelan, tampilan bunga sesaji, kereta kencana, pakaian adat, batik, dan suasana ramah menjadi pemanis suasana di kedua tempat itu.

Keberhasilan Hamzah, pria 62 tahun, pemilik Mirota Batik dan The House of Raminten ini mengawalinya dari kecintaannya terhadap kesenian Jawa. Diawali pada saat dirinya berumur 6 tahun, ibunya mengajaknya untuk mengikuti kursus menari Jawa Mataraman di rumah Walikota Yogyakarta pada saat itu, Pak Purwokusumo. Dari saat itu, dia menyukai karawitan, menari klasik, nembang, wayang orang, ketoprak. “awal mulanya ya ibu saya yang mengursuskan saya di rumah Pak Purwokusumo itu, kalau ditanya apa sebabnya saya suka seni budaya Jawa, tapi banyak orang yang tidak menyukai, tapi kok saya suka” jelasnya.

Meskipun sang ibu berasal dari keturunan Tionghoa, namun jiwanya lebih Jawa daripada orang Jawa. Hamzah menjelaskan “Beliau pun juga sangat suka dengan budaya Jawa, beliau bisa menari dan jaman dulu suka mendengarkan siaran ketoprak di radio” 

Di umurnya yang sudah tidak muda lagi, Hamzah masih tetap belajar menari Jawa Klasik. “Sampai saat ini, setiap hari selasa saya masih latihan menari. Saya diajar oleh Pak Matheus Anwar Santosa. Beliau mengajar tari Gaya Yogyakarta yang sudah jarang ditarikan oleh kebayakan orang seperti Serimpi Pandenori dan Bedhaya Kakung” tutur pria yang pandai mendesain pakaian ini. Pada umumnya tarian klasik di jaman sekarang sudah dimodifikasi, yang tadinya berdurasi kurang lebih dua jam kini hanya dipersingkat menjadi hanya 45 menit saja.  Keinginannya dalam mempelajari tari begitu besar. Meskipun dalam mempelajari tari klasik Jawa terkenal sangat berat, hamzah rela meluangkan waktunya walau dalam kurun 3 tahun, namun ia hanya mempelajari 3 repertoar tari saja.

Perjuangannya dalam bidang seni budaya Jawa tak berhenti sampai di situ saja. Dulu, ia mendirikan group tari bersama Lies Apriani yang kemudian dikenal dengan nama Grup Malem seton. Dinamakan demikian karena dulunya grup ini berlatih setiap Jumat malam atau malam Sabtu. Sekarang grup tersebut sudah berganti latihan pada hari Selasa malam. Grup ini didirikan atas dasar pengabdiannya terhadap seni budaya. Bagaimana tidak, latihan tari terbuka bagi ibu-ibu dari mana pun dan tidak dipungut biaya. Grup ini pun sering pentas di Bangsal Srimanganti Kraton Yogyakarta. Sejak puluhan tahun yang lalu hingga sekarang, grup tari ini semakin bertambah peminatnya. Barangkali ada dari Anda para pembaca sekalian yang ingin bergabung, pintu sangat terbuka lebar. Mungkin Anda juga bisa ikut untuk bersama-sama belajar tentang tari klasik.

Tak mau kalah dengan para ibu-ibu di luar sana yang berlatih tari di area Mirota Batik, karyawan Mirota Batik pun mempunyai group karawitan. Pada awalnya Hamzah mempunyai seperangkat gamelan dan kebetulan ada  salah satu karyawan dari mirota batik yang hobi dengan karawitan. Kemudian ia mengumpulkan data tentang karyawannya yang lain yang juga tertarik pada karawitan. Setelah terkumpul, terbentuklah grup karawitan karyawan yang diampu oleh pelatih dari Kraton Yogyakarta, Pak Fuad. Seperti pada grup tari Malem Seton, Perhatian Hamzah terhadap kelangsungan seni budaya memang cukup besar. Grup karawitan ini juga tak dipungut biaya sedikit pun. Segala biaya sudah ditanggung olehnya. Namun, agak berbeda dengan grup tari, grup karawitan ini diperlakukan denda untuk anggota yang tidak hadir tanpa alas an yang jelas. “konsekuensinya ya ada denda, makanya mereka pasti datang, ya walau pun mungkin terpaksa takut didenda..ha ha ha”, candanya.

Ruang Usaha 
Yogyakarta adalah salah satu kota tujuan wisata yang cukup tersohor di bumi pertiwi ini. Banyak potensi yang ada di dalamnya, seperti banyak kerajinan wayang kulit, topeng, dan kerajinan lainnya. Hamzah, mempunyai inisiatif untuk mengangkat potensi tersebut. Ia mendatangi sendiri para perajin dan memboyong karya-karya para perajin untuk dijual di tokonya. Kadang, jika mempunyai ide kerajinan baru, ia kemudian menggambarnya dan mengonsep dalam bentuk sketsa kemudian mendiskusikan kepada para perajin untuk mewujudkan ide tersebut ke dalam bentuk fisik. Karena ketekunannya merangkul perajin ini, ia saat ini menjadi salah satu pengurus Dewan Kerajinan Nasional Propinsi DIY.

Keinginan mengangkat potensi Yogyakarta tak hanya soal kerajinan. Di semua tempat usahanya, selalu kita akan menemui suasana pakaian dan suasana dengan sentuhan adat Yogyakarta.  Di Mirota Batik misalnya selain lantunan suara gamelan, biasanya kita akan melihat orang berpakaian surjan atau kebaya di pintu masuk, koleksi kereta, dan banyak dagangan bernuansa adat, seperti permainan tradisional, batik dan banyak hal lagi.

Demikian pula di warungnya The House Of Raminten. “Tempat ini dulunya tidak dirancang untuk laris, tapi kok sekarang laris” candanya.Pertama kali kita masuk pasti akan mendengar lantunan suara gamelan dan tampilan kereta. Kita pun juga akan disambut para karyawannya yang menggunakan pakaian dengan sentuhan Yogyakarta. Menu makanannya pun juga menawarkan makanan yang khas Yogyakarta. Awalnya, warung ini hanya menjual jamu dan beberapa makanan khas Yogyakarta. Namun karena semakin laris, sekarang menunya sudah sangat banyak dan mempunyai nama yang unik. Wedang prawan tancep misalnya, nama ini dibuat demikian karena resep menu tersebut didapat dari Dusun Tancep, Wonosari.

“Yogyakarta sebagai tujuan wisata harus disyukuri, oleh sebab itu makanan, pakaian, suasananya juga Yogyakarta. Suasana toko kan juga sangat Jogja, ya suasana kan juga bisa dijual”, katanya.

Perjalanan karis bisnisnya pun pernah mengalami keterpurukan. Pada tahun 2004, tokonya yang terletak di ujung selatan Jalan Malioboro ini pernah mengalami musibah kebakaran. Semua isinya terbakar habis. Hamzah mendapatkan dukungan dari banyak teman dan para karyawannya. Dari keterpurukan tersebut, ia tak memecat satu pun karyawannya. Mereka bergotong-royong membangun lagi tempat tersebut. “ini adalah pengalaman yang orang lain tidak punya namun saya punya. Saya bersyukur saja pernah mengalami seperti itu. Walau pun harta benda telah habis namun dukungan dari para teman telah menguatkan saya. Saya harus kuat dan ini harus berdiri lagi”. Pribadi yang ramah membuat Hamzah dicintai banyak kawan. Akhirnya kini tempat usahanya telah kembali berdiri dan menjadi tujuan para wisatawan dan tetap mempertahankan suasana khas Yogyakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar