Selasa, 28 Februari 2012

AA Kunto ASang Pendiri Perguruan Menulis

“Menulis adalah berekspresi, sama dengan berbicara. Semua orang bisa berbicara maka semua orang bisa menulis. Akan aneh bila seseorang yang normal tidak berbicara, begitu pula akan aneh jika tidak menulis. Menulis itu mudah. Semua orang pasti bisa menulis” (AA Kunto A)



Di suatu pagi saat matahari belum terlalu terik, seorang lelaki datang dengan mengendarai motor tua. Dengan ramah Ia mempersilakan saya untuk duduk di sebuah lincak (kursi dari bilah-bilah bambu), “monggo..monggo” katanya. Saat itu, ia nampak kelelahan. Maklum saja, ia baru saja selesai rapat dengan relasi kerjanya.


Namanya AA Kunto A. Usianya 34 tahun. Ia terlihat begitu semangat dan bersahaja ketika berbicara. Sesekali celoteh lucu dan tawa renyah terlontar. Suasana pun terpecah riang. Menulis, menerbitkan, bersepeda, makan-makan, dan memaknai hidup, semua itu diilhami oleh pria ini.

Seakan tak pernah habis menyusuri keistimewaan Yogyakarta yang kental akan keramahan dan budaya yang kental. Keistimewaan Yogyakarta bertambah dengan adanya sebutan sebagai kota wisata buku. Bagaimana tidak? Dalam satu tahun saja di Yogyakarta sudah ada belasan pameran buku. Sebutan itu pun diperkuat oleh AA Kunto dengan didirikannya STMJ (Sekolah Tinggi Menulis Jogjakarta).

Karir menulisnya dimulai pada tahun 1994. Saat itu ia masih SMAia baru saja mengalami kecelakaan. Kakinya terpaksa harus diistirahatkan dan harus memakai alat bantu tongkat untuk berjalan. Namun demikian, sekolahnya mewajibkan semua muridnya mengikuti ekstrakurikuler sebagai syarat kenaikan kelas. Kebingungan melandanya, ia ingin mengikuti olah raga. Apa daya, kakinya tak menudukung untuk berolah raga.Kemudian ia memilih untuk mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik. Dari situ ia kemudian mendaftarkan diri menjadi reporter kolom remaja GEMA, halaman khusus untuk pelajar yang dikelola harian BERNAS. Perjalanan sebagai reporter berlanjut di saat ia kuliah di UGM, selama 1 tahun Kunto bergabung dengan majalah kampus bernama Balairung. Tak puas sampai situ, ia berpindah ke majalah Basis menjadi reporter selama tujuh tahun. Setelah lulus kuliah pada tahun 2003, ia hijrah ke Jakarta dan bekerja di majalah Marketing sebagai redaktur dan freelance sebagai ghostwriter. 2007 ia kembali ke Yogyakarta dan bekerja di penerbit Galang Press sebagai pemimpin redaksi.

Sebagai wartawan, berbagai penugasan jurnalistik telah dilalakoni. Sebagai editor, puluhan buku telah ia sunting. Sebagai penulis, banyak buku telah ia karang. Sebagai pembicara, forum pelatihan di berbagai kota di Indonesia juga telah ia hadiri. Hingga pada tahun 2010 ia bosan menjadi karyawan. Ia memilih keluar dari pekerjaan dan berwirausaha di bidang media.  Ia mendirikan sebuah penerbit kecil-kecilan, ia menyebut penerbit kaki lima.

Dalam tulisannya berjudul “Guru Samino” di blog-nya dan Kompasiana, dia bercerita banyak hal dan setelah saya baca, sepertinya pernyataan dari guru SMA-nya ini lah yang membakar semangatnya untuk berwiraswasta. Berikut saya kutip :

“Isih melu uwong, Le?” Masih bekerja ikut orang, Le? Ini pertanyaan latah yang kerap ia lontarkan jika kami bertandang di rumahnya, 1 km sebelah barat Candi Prambanan, Kalasan. Jika jawabannya “ya”, ia akan menghardik, “Isih dadi batur yen ngono?” Masih jadi pesuruh!

Di matanya, kartu nama kami, dengan embel-embel jabatan supervisor, manajer, bahkan direktur, tidaklah membuatnya kagum. Pamer apa pun di depannya tiada berguna. “Lehmu entuk duit seka ngendi kuwi?” cecarnya jika kami pamer gaji atau kekayaan. Selagi masih diperoleh dengan cara bekerja sebagai karyawan, di matanya nilai kami masih 6.
Bagi Samino, profil murid yang ia kagumi adalah mereka yang berani mandiri. Wiraswasta!

STMJ
26 Oktober 2011 di sore hari pukul 5 sore. Waktu itu gunung Merapi baru saja mengeluarkan wedus gembelnya. Di sebuah tempat bernama Solusi Distribusi, Kunto, Haryadi dan Lina sedang berdiskusi tentang seputar penerbitan. Muncullah ide untuk membentuk sebuah lembaga pelatihan menulis dan agensi naskah untuk penerbit. “Gagasan awal dari berdirinya STMJ adalah karena adanya gap antara penerbit dan penulis. Banyak penulis tersedia namun takut untuk menembus penerbit. Begitu pula pihak penerbit tak mengetahui banyak penulis. Banyak penerbit butuh penulis, banyak penulis butuh penerbit. Kami hadir di tengah-tengahnya”. Bagi kunto, penulis-baru tidak bisa dilepaskan begitu saja. “Biasanya penulis pasti ingin bukunya diterbitkan”, Kunto dan STMJ hadir dengan konsep pelatihan-menulis berbayar dengan garansi bahwa peserta pasti menghasilkan buku. “Kami memang menerapkan tarif tertentu tapi itu untuk pelatihan yang sifatnya kolektif dan jika kami diundang ke suatu tempat dalam jangka waktu tertentu”.

Pelatihan sesungguhnya ia berlakukan secara gratis. Bahkan, pelatihan menulis gratis ini boleh dikatakan privat. Mengapa? Penulis pemula dipersilakan mengajukan ide buku yang ingin ditulis dalam bentuk outline. Ide ini disampaikan secara online ataupun bisa datang sendiri kepada Kunto. Jika ide dan outline disetujui maka Kunto akan memberitahu penulis pemula itu tentang langkah apa yang harus dikerjakan. Langkah demi langkah sang penulis dibimbing sampai menghasilkan sebuah buku.
“Banyak sekolah menulis yang sudah ada seperti Indscript di Bandung, SMM di Semarang, RedCarpet di Jakarta, dan masih banyak lagi. Saya tegaskan bahwa kami memang meniru konsep mereka karena tujuannya sama, yaitu membuka wawasan manusia melalui tulisan”, kata pria yang hobi bersepeda ini.

Wisata Jurnalistik
Banyak wisatawan datang ke Yogyakarta. Biasanya mereka hanya punya cerita yang biasa-biasa saja. Mungkin hanya mendengar penjelasan dari pemandu wisata yang mendampingi. Cerita yang didapat akan terasa sangat membosankan. Kalau hanya melihat Kraton yang dilihat dari sudut pandang sebuah kerajaan, mungkin sudah semua orang mengetahui. Melihat gudeg dari sudut pandang makanannya, mungkin juga sudah banyak orang sudah mengerti. Kunto mengajak para wisatawan mengetahui dan mengabarkan Yogyakarta dari sudut pandang yang berbeda. “Temukan sendiri Jogjamu”, itulah prinsip yang diangkat Kunto dalam program wisata jurnalistik ini. Dengan kata lain, peserta akan menjadi pemandu untuk dirinya sendiri. Wisatawan atau peserta wisata jurnalistik akan diajak blusukan, peserta akan diajak ke tempat wisata yang diinginkan. Tentu, ada tarif tertentu yang harus dibayarkan. Lalu, di mana letak jurnalistiknya? “Program ini hanya dibuka pada musim liburan. Peserta akan diberikan materi : teknik wawancara, pengumpulan ide, dan teknik menulis cerita, teknik menulis feature. Biasanya tulisan hasil tulisan mereka ditampilkan melalui blog”. Menurutnya, dengan mengajak wisatawan mengetahui Yogyakarta dilihat dari sudut pandang yang berbeda berarti ia telah ikut membantu membuka wawasan banyak orang tentang Yogyakarta.
Kula Nuwun mas Kunto, saya nulis panjenengan njih hehe kritikannya saya terima. hehe

Saya akhiri tulisan ini dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer
Orang boleh pandai setinggi langit tetapi selama ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”