Senin, 02 Juli 2012

Basket Lagi

Setelah beberapa tahun tidak basket, akhirnya kesampaian juga saya main basket lagi. Kali ini, saya basket di kantor. Biasanya, setiap tahun kantor saya ini ada pertandingan antar-karyawan. Kata para atasan sih dalam rangka menyambut 17 Agustus-an, hehee ada-ada saja ya. Tapi tak apa, malah bisa untuk hiburan para karyawan, bisa ngakak karena melihat  tingkah-tingkah lucu beberapa karyawan yang sebelumnya tak biasa main basket. Ada yang Cuma ketawa-ketawa, ada yang aktif bergerak tapi tidak jelas, ada yang berjaga bola tapi malah seperti orang menari Kecak, dan masih banyak lagi.

Malam sebelum bertanding saya mencari-cari sepatu basket yang dulu sering saya pakai. Ketemu juga. Sepatu itu sudah terlantar karna tak pernah terpakai. Hanya tersimpan di rak sepatu, di teras belakang. Kasihan,ia tampak lusuh dan sangat berdebu. Perlahan saya bersihkan sepatu itu pakai lap kanebo basah. Saya usap-usap saja. hhmm..sepatunya kan terbuat dari kulit dan plastik sintetis, jadi ya sementara tak perlu dicuci dulu lah.

Tiba saatnya saya bertanding. Ternyata musuh kami adalah tim dari divisi produksi. “wah, awakke do atos. Maklum lah, saben dina kan wah-cah kae usung-usung. Ora mung kaya awak dewe, mung lingguh”, kata beberapa kawan satu divisi.

Saya sendiri tak merasa takut bertanding dengan mereka. Selama pertandingan saya merasa kurang nyaman dengan lantainya. Sangat licin. Saya pikir, lantai itu perlu dipel dulu. Lapangan basket di kantor berada di samping pabrik buku kantor. Lantainya keramik warna putih, garisnya pun dibuat dari lakban. Ringnya nempel di tembok. Hehehe

Saya pun terkena dampak dari kelicinan lantai itu. Saya terpleset 2x di underbasket. Istilah orang Jawa “kanteb”. Karena terlalu licin saya memilih untuk cekeran. Ternyata malah lebih nyaman dan bisa bebas berlari sana sini hingga akhirnya menang dengan skor 13-7.

Boyok saya baru terasa sakit saat di rumah. Sakit karena “kanteb”. Dan esok harinya saya masuk kerja dengan boyok yang deyek-deyek. “Sin, boyokku sakit je. Jatuh kanteb pas basket di kantor, kemarin”, sambatku ke Odil, pacar saya. “Diangetin pake alatnya Babe ya”, katanya dengan nada perhatian. sesaat kemudian dia mengambilkan alat pemanas semacam bantal sabuk. Saya hanya tinggal menancapkan kabel bantal itu ke listrik, ngepaske bantal itu ke bagian yang sakit. hhmm hangat juga ya…lumayan…sakitnya berkurang. Besok lagi kalau pas basket di kantor, saya mau cekeran saja lah.

Selasa, 26 Juni 2012

Teater Balok

Puji Tuhan. Kami, Mudika Paroki St Yakobus Bantul telah punya komunitas kecil yang bergelut dalam seni peran. Namanya Teater Balok. Nama ini tercetus pada tanggal 25 Juni 2012 di kosteran gereja, tepatnya di depan TK St Theresia Bantul. Sebelumnya ada beberapa usulan nama : Guyub, Harmoni, TeateRang. Setelah melewati voting, akhirnya terpilih nama Balok. Kami sepakat memakai tanggal itu sebagai hari lahir TEATER BALOK.

Kurang lebih, kami sudah latihan 4x untuk mementaskan naskah berjudul Jamila dan Sang Presiden, karya Ratna Sarympaet. Ini adalah pementasan dan naskah pertama yang kami sentuh. Sebelum ini, selama beberapa minggu, saya dan Bernard sempat berbincang. Obrolan kami mengarah ke keinginan membuat pementasan teater. Mumpung dalam lingkup gereja belum ada yang berani memantaskan teater dengan konsep benar-benar teater, ya dengan tata cahaya, tata artistik, tata kostum dan rias, dll.

Dengan hanya gagasan sesaat dan keinginan kuat, kami mulai mengumpulkan beberapa kawan untuk diajak berproses bersama. Memang, kebanyakan yang mengurus adalah kawan-kawan dari mudika Cepit karena hanya itu yang sementara bisa kami kumpulkan. Niat kami adalah mengajak teman-teman mudika paroki yang skalanya lebih besar, untuk berproses bersama. Saya, Bernard, dan mungkin mas Chataq yang pernah mencicipi belajar teater ingin berbagi. Bukan bermaksud sok eksis dan mau berkuasa. Niat kami hanya untuk berbagi.

Puji Tuhan, banyak respon positif. Mungkin memang banyak yang menginginkan proses semacam ini. Kami berharap agar kegiatan ini berjalan dengan lancar. Romo pun berharap, kami bisa mempertanggungjawabkan kegiatan ini. Tanggungjawab moral, tanggungjawab keuangan, dan tanggungjawab lainnya. Kami berjanji, kami siap.

Selasa, 19 Juni 2012

Pentas Seni Tari Tradisi


Saya mau sedikit berkomentar tentang seni budaya. Selama saya melihat, sepertinya banyak orang yang ingin  supaya anak-anak muda belajar seni budaya. Yang dimaksud seni budaya ya semacam tarian tradisional, musik tradisional, dll. Saya pun ingin supaya anak-anak muda juga mempelajari dan mengerti hal semacam itu. Tapi kok sepertinya orang-orang yang mengajak belajar itu malah terkesan kurang ikhlas untuk berbuat lebih. Anak-anak muda yang baru belajar hanya diajak berlatih untuk keperluan pentas. Tanpa dasar, tanpa diberitahu tekniknya. Bahkan, pementasannya pun terkesan asal-asalan.

Dalam hal ini, saya mau berbicara tentang pembelajaran seni tari. Saya melihat di pembelajaran seni tari tradisi. Anak-anak muda yang baru belajar hanya disuruh menirukan gerakan sang pelatih. Bahkan hanya berlatih hanya untuk kepentingan pentas. Mbuhh bener po ora gerakanne ya ra diurusi. Satu hal lagi, bagaimana ngepaske dengan iringan pun belum tau, sang pelatih pun tak mengajarkan. Padahal yang paling penting adalah tentang filosofi dan dasarnya. Seni tradisi atau saya lebih sering menyebut seni klasik, selalu punya filosofi. Kalau dalam seni tari klasik, setiap gerakan ada filosofinya, tidak asal gerak. Kalau pun tidak dengan filosofi ya....paling tidak kan diajarkan gerakannya dengan benar sehingga enak dilihat.

Seperti yang saya katakan di awal tadi,  banyak orang yang ingin supaya anak muda belajar seni budaya. Tapi hasilnya jadi asal-asalan. Pikiran saya, buatlah dulu seni budaya itu tampak menarik. Kalau latihannya asal-asalan, gerakannya tidak pas bahkan terkesan wagu, trus apa yang mau diunggulkan? Tidak mungkin kita memaksa anak-anak muda untuk harus mempelajari. Saya yakin, teman-teman muda tidak melirik seni tradisi karena dianggap kuno dan mungkin dari orang tua mereka tidak mengajak mempelajari. Sepertinya memang karena masuknya banyak budaya populer.

Sering saya lihat pentas seni tradisi disajikan di lapangan terbuka, jalan raya, dll. Smua itu tanpa ada konsep dan tata artistik, kadang panas terik matahari jari tata cahaya. Tanpa atap dan beralas tanah, paling banter ya rumput. Saya kok kasihan sama para penampil, kasihan juga sama para penontonnya, apalagi kalau yang dilihat hanya robot. Kenapa saya bilang robot? Karena penampil hanya menirukan gerakan tanpa tahu apa maksud hal yang dilakukan. Saya khawatir justru kaum muda akan semakin enggan belajar seni tradisi. Saya selalu mengritik jika ada hal semacam itu. Belajar adalah cara untuk  bisa/mampu, bukan hanya belajar untuk pentas. Kalaupun hanya untuk pentas ya dimaksimalkan. Persiapkan tata panggung, musik, tata cahaya, koreografi, dan tempat pentas yang memadahi. Pikirkan aspek pemain, pikirkan juga aspek pononton.

Saya berpendapat seperti ini bukan berarti kalau pentas di jalan raya, lapangan, beratap awan dengan panas terik, beralas tanah itu tidak baik untuk pentas. Bisa menjadi baik, bahkan mungkin menarik. Tinggal bagaimana kita mengemas pertunjukan. Jangan sampai hanya karena pembelajaran dan pertunjukan yang kurang menarik, anak-anak muda semakin tidak tertarik mempelajari seni tradisi.

Senin, 11 Juni 2012

Saya Sering Sakit....Saya Mau Menyalahkan..!

Sudah beberapa bulan ini saya bekerja di sebuah perusahaan. Yah, cukup saya nikmati. Sebenarnya saya tidak mau mencurigai, tapi ini yang saya rasakan. Saya hanya mau mencoba menuliskan apa yang saya rasakan.

Sebelumnya, meskipun gemuk, tapi saya sehat walafiat dan jarang sakit. Setelah beberapa bulan bekerja di tempat itu, sebulan sekali kok pasti ada saja waktu untuk sakit. Apa pemicunya? hmm mari dilihat satu-persatu.
Pertama, disediakan air minum di dispenser tapi seperti tidak pernah dibersihkan. Dulu sebelum saya masuk di kantor itu malah ada cerita kalau dispenser itu kemasukan kecoa dan masih tetap dipakai. Katanya sih nggak dicuci. hhmm karena tidak menyaksikan secara langsung ya masa bodoh saja. Beberapa kali saya minum dari situ kok beberapa kali pula saya sering batuk. Akhirnya sekarang saya bawa minum sendiri yang jelas kebersihannya. Ambil air dari dispenser kantor tuh cuma kalau mau bikin minum panas...itu pun bukan saya ambil dari dispenser yang pernah kemasukan kecoa...Masih ada beberapa dispenser kok...Saya pikir, kalau airnya panas, paling tidak kan kumannya berkurang....
Kedua, ruangan yang saya tempati sangat kotor. Meja saya pun juga berdebu. Kalau pun saya membersihkan meja saya tapi meja teman-teman saya tetep aja masih kotor. Kalau saja teman-teman juga membersihkan tapi ruangannya masih kotor. Petugas kebersihannya juga jarang membersihkan. Sekali membersihkan pun tidak maksimal. Hanya ngepel sambil lalu saja. Tak titeni, ini yg bikin saya sering bersin. 
Ketiga, dari pagi sampai sore, para karyawannya duduk di depan komputer. Kalau buat saya, kursi di kantor ini cukup kurang nyaman untuk karyawan kantoran. Kursi merah yang sering dipakai kalau ada acara resepsi itu lho. Menurut beberapa artikel yang saya baca, terlalu banyak duduk punya efek kurang baik bagi kesehatan. Kalau tak salah, beberapa efeknya adalah ttg kemampuan seksual, penyakit jantung, dan diabetes. Kalau saya search di google, tak ada satu pun artikel yang menganggap terlalu banyak duduk sebagai hal yang baik. Tak titeni, sejak saat itu, saya sering tak sehat. Mau olah raga sekeras apapun tapi kalo masih terlalu banyak porsisi duduknya ya akan berbahaya.
Keempat, saya kurang mengonsumsi sayur. Gaji saya tak seberapa. Kalau mau memilih menu juga susah. Mungkin memang kesalahan saya terlalu menyepelekan pola makan. Sebenarnya mau tak mau tetap harus saya sempatkan memilih makanan. Di kantor pun ada jatah makan siang yang sudah disiapkan kantor. Selain menunya itu-itu saja dan kurang menarik, kuotanya pun kadang kurang banyak. Setiap istirahat jam makan, saya harus adu cepat dengan kawan-kawan lainnya. Siapa cepat dia dapat. Kalau tidak dapat jatah ya mood kerja rusak...hhmmm...
Kelima, saya jarang olah raga. Berangkat pagi pulang sore. Sampai rumah sudah lelah. Gimana mau olah raga?  Kadang kalau ada kerjaan sampingan ya sepulang kerja ya nggarap kerjaan sampingan. Pikiran saya jadi terarah ke kerja dan kerja. Keinginannya cuma mau mencukupi kebutuhan materi. Sebenarnya saya tetap harus menyempatkan diri berolah raga.



Minggu, 20 Mei 2012

Saya Tidak Suka Senioritas..!

Saya paling benci dengan senioritas (yang dimaksud adalah kesenioran yang kurang menghargai junior) ataupun anggapan “Kamu itu anak baru”. Mengapa? Buat saya, hal semacam itu kurang menghargai. Bisa saya bilang kurang memanusiakan manusia.

Ada seseorang yang mengatai “kamu itu anak baru” saja rasanya saya dianggap kurang mampu dan sangat rendah. Pernah, di suatu kesempatan, seorang kawan berkata “hey, ke sini! Kenalan dulu, kamu kan anak baru, masa iya aku yang ke sana”. Ada lagi beberapa teman berkata “kamu itu anak baru lho, kok berani-beraninya bercanda sampe ejek-ejekan sama kami yang udah lebih senior”. Miris rasanya mendengar itu. Memangnya ada perbedaan hak? Yang membuat beda hanya durasi. Bukan hak. Memang, tak semua kawan yang seperti itu. Namun, sebagian besar menyampaikan hal itu. Saya kurang tau, hal itu terjadi karena kebiasaan bersama atau karena sifat asli.

Sebenarnya, masalahnya hanya sederhana. Kalau kita mau bersikap terbuka dan saling melayani maka masalah akan selesai. Ada yang salah ya kalau kawan yang sudah lebih dulu berada di sana mendatangi saya dengan hanya berjalan beberapa langkah kemudian memberi salam dan senyum? Harus anak baru kah yang melakukannya?
Buat saya, terbuka, bersahabat, dan melayani adalah kunci kedekatan emosi dengan seseorang. Ngobrol secara akrab dan senyum jujur, bukan senyum palsu membuat saling merasa nyaman antara 2 atau lebih komunikan. Kira-kira, apa yang akan didapat dari senioritas jika tak ada senyum kejujuran dan keterbukaan? Mungkin yang ada hanya penindasan dan kebencian. Pertemanan pun tak akan setulus jika kita bisa bersahabat dan terbuka.

Kalau kita melihat ke masa sekolah atau kuliah, saat pertama kali masuk, kita akan mendapat perlakuan khusus dari kakak angkatan (baca:senior). Biasanya para senior itu memberikan gertakan dan perlakuan kurang adil. 1. Senior tidak pernah salah. 2. Anak baru tidak boleh salah, jika salah akan dihukum. 3. Anak baru harus menurut apa kata senior. 4. Jika senior salah, ingat nomor 1. Apa maksud para senior itu? Minta dihargai? Atau hanya mengerjai?
Barangkali, para senior itu melakukan hal tersebut karena ingin mendidik para junior agar bisa menghargai dan menghormati, tapi apakah efektif? Saya rasa…tidak…! Mau dihormati kok minta. Akan lebih baik kalau para senior itu menunjukkan keramahan, persahabatan, momong, dan keterbukaan. Otomatis,para adik (baca:junior) akan menghormati karena segan dan lebih menghargai. Sikap seperti ini akan menjadikan hubungan menjadi lebih dekat.

Pada saat kuliah, saya tak mengalami senioritas seperti yang pernah saya lihat di televisi. Saya kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD). Di kampus tak ada istilah ospek ataupun penggojlogan dengan cara keras dan melecehkan. Kalau di kampus saya, kegiatan ospek digantikan dengan kegiatan dengan nama INSADHA (Inisiasi Sanata Dharma). Tujuannya hanyalah memperkenalkan mengenai kampus secara keseluruhan. Dalam acara itu, para kakak angkatan baik yang panitia maupun yang bukan panitia memperlakukan dengan sopan, ramah, momong, dan terbuka. Tak jarang senyum dan sapa terlontar. Di sana, kami para peserta diajak berdinamika, dihibur dengan musik, tari, film, dll. Dari yang saya tau, sepertinya hanya USD yang menerapkan sistem yang mengasikkan seperti itu. Para peserta insadha dan panitia pun cepat akrab. Materi yang diberikan selama berdinamika pun dapat mudah diterima. Sebagai mahasiswa yang baru masuk, saya merasa sangat dihargai. Begitu pula pada saat saya menjadi panitia. Energi saling menghargai pun saya rasakan. Tak ada sedikitpun niat untuk menindas para mahasiswa baru. Pantas jika kampus USD menjuluki diri sebagai “kampus humanis”.
Saya mengajak siapa saja yang masih berpikiran bahwa “senior lebih berkuasa” untuk melenyapkan pemikiran itu perlahan, sukur sukur kalo langsung bisa lenyap. Tak ada gunanya dan hanya akan tumbuh dendam. Silakan manusiakan manusia. Hargai sesamamu… Salam dari Yogyakarta..

Selasa, 15 Mei 2012

Angklung Jalanan, Penghias Suasana Malioboro

Angklung memang bukanlah alat musik khas Yogyakarta. Namun, di tangan anak-anak muda ini, angklung menjadi daya tarik khusus di sepanjang jalan Malioboro di sore hingga malam hari.

foto : http://gambar.mitrasites.com/malioboro.html
Ketika itu matahari tak terlalu terik, awan pun tak mengandung warna mendung. Di bawah jembatan Badran, sekelompok anak muda tampak menyiapkan seperangkat alat musik dari bambu. Sesekali angklung itu dipukul untuk mengisi kekosongan waktu sambil melakukan pemanasan. Seorang dari mereka beberapa kali mereka menyisir rambutnya agar tetap klimis. Maklum, mereka mau ngamen di jalan Malioboro, tampilannya harus tetap menarik demi memikat penontonnya nanti. Seketika seorang tukang becak menghampiri mereka dan mulai mengangkat semua alat musik tadi dan mendudukkannya dalam kursi becak. Penuh memang, bahkan tak cukup lagi untuk diduduki satu orang pun. Si klimis mulai berinisiatif memanggil 2 becak untuk mengangkut mereka menuju ke jalan Malioboro.

Ya, seperti itulah keseharian mereka. Mengumpulkan semangat sambil bersantai sebelum bekerja. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Purwokerto. Di Yogyakarta mereka mempunyai sebuah paguyuban angklung tradisional bernama “Kridotomo”. Paguyuban ini didirikan sejak tahun 2008.

“Biasanya pada siang hari kami ngamen di selatan pasar Beringharjo, kadang di sore hari kami juga ngamen di depan toko Ramai” kata Joko, salah seorang pemain angklung. Banyak orang tertarik melihat mereka. Suara dentingan angklung dan tabuhan alat musik meresap ke hati. Suara bilah-bilah bambu yang terdengar tak membuat telinga bising, bahkan terdengar nyaman. Biasanya mereka memainkan musik seperti dangdut, campur sari, pop, lagu daerah, dan masih banyak lagi. Dalam sehari mereka bisa memainkan lebih dari 50 lagu.

Angklung memang berasal dari Jawa Barat. Namun, daerah Banyumas mempunyai ciri khas angklung sendiri. Mereka menyebutnya “Angklung Banyumasan” atau “Kenthongan”. Di daerah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan sekitarnya, setiap kampung pasti punya grup angklung. Terutama pada saat bulan puasa musik ini dipakai untuk membangunkan pada saat sahur dan biasanya dimainkan oleh 30 orang. Pada hari biasa musik ini sering dimainkan pada saat ronda. Pun saat acara kebudayaan, angklung selalu dimainkan. Lama kelamaan, karena musik ini banyak digemari dan nyaman didengarkan maka orang sana menangkap peluang untuk menyebarkannya ke berbagai kota, salah satunya Yogyakarta dan diterima dengan baik”, kata Supraptyo, pemimpin paguyuban Angklung Kridotomo. Ada yang menyebut Calunk Funky, ada pula yang menyebut Pengamen Angklung, dan ada orang asing yang menyebutnya Malioboro Street angklung.
Ditemani temaram lampu Malioboro; gambang kecil, angklung renteng, marakas, bedug kecil, bedug bass dari, dan cymbal kecil mereka mainkan di sepanjang jalan Malioboro. Memang, ada beberapa grup angklung yang ada di sana, tak hanya grup angklung Kridotomo. Biasanya mereka sudah punya atribut dan seragam masing-masing. Tak ada yang berbeda dari kualitas mereka, semuanya memainkan angklung-angklung itu dengan indah.

Sebuah kardus kosong mereka tempatkan di atas sebuah kursi plastik. Seribu, dua ribu, tak jarang sepuluh ribu rupiah kardus itu mulai terisi. Satu per satu lagu mulai mereka mainkan. Sesekali  mereka bernyanyi bersama-sama. Pengendara mobil dan motor yang melintasi mereka pun menyempatkan untuk melirik, bahkan berhenti sejenak untuk sekedar menikmati sesaat. Pejalan kaki yang melintasi pun tak bisa melewatkan pesona mereka. Dalam setiap penampilan, mereka selalu ditonton layaknya sedang konser. Tak jarang, saking asiknya menikmati, seorang penonton ikut hanyut dalam alunan musik bambu ini dan bergoyang sambil bernayanyi.

Seorang wanita muda tampak sangat menikmati permainan angklung. Sudah banyak yang ia dengar mengenai permainan angklung di Malioboro. “ Musik seperti ini layak untuk diapresiasi. Wajar saja jika banyak orang yang memberi mereka uang karena materi dan kualitas para pemain angklung ini bukan seperti pengamen yang asal-asalan”, jelasnya dengan terkagum melihat para pemain angklung.
Sering kali grup angklung ini dipanggil untuk mengisi dalam sebuah acara. Mereka sudah memasang tarif untuk setiap penampilannya. 500.000 untuk penampilan selama satu jam, tampaknya adalah harga yang pantas. Barangkali Anda juga ingin menikmatinya? Silakan datang atau mengundang mereka.

Senin, 14 Mei 2012

AA Kunto A, Pendiri Perguruan Menulis

“Menulis adalah berekspresi, sama dengan berbicara. Semua orang bisa berbicara maka semua orang bisa menulis. Akan aneh bila seseorang yang normal tidak berbicara, begitu pula akan aneh jika tidak menulis. Menulis itu mudah. Semua orang pasti bisa menulis” (AA Kunto A)



Di suatu pagi saat matahari belum terlalu terik, seorang lelaki datang dengan mengendarai motor tua. Dengan ramah Ia mempersilakan saya untuk duduk di sebuah lincak (kursi dari bilah-bilah bambu), “monggo..monggo” katanya. Saat itu, ia nampak kelelahan. Maklum saja, ia baru saja selesai rapat dengan relasi kerjanya.



Namanya AA Kunto. Usianya 34 tahun. Ia terlihat begitu semangat dan bersahaja ketika berbicara. Sesekali celoteh lucu dan tawa renyah terlontar. Suasana pun terpecah riang. Menulis, menerbitkan, bersepeda, makan-makan, dan memaknai hidup, semua itu diilhami oleh pria ini.


Seakan tak pernah habis menyusuri keistimewaan Yogyakarta yang kental akan keramahan dan budaya yang kental. Keistimewaan Yogyakarta bertambah dengan adanya sebutan sebagai kota wisata buku. Bagaimana tidak? Dalam satu tahun saja di Yogyakarta sudah ada belasan pameran buku. Sebutan itu pun diperkuat oleh AA Kunto dengan didirikannya STMJ (Sekolah Tinggi Menulis Jogjakarta).

Karir menulisnya dimulai pada tahun 1994. Saat itu ia masih SMAia baru saja mengalami kecelakaan. Kakinya terpaksa harus diistirahatkan dan harus memakai alat bantu tongkat untuk berjalan. Namun demikian, sekolahnya mewajibkan semua muridnya mengikuti ekstrakurikuler sebagai syarat kenaikan kelas. Kebingungan melandanya, ia ingin mengikuti olah raga. Apa daya, kakinya tak menudukung untuk berolah raga.Kemudian ia memilih untuk mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik. Dari situ ia kemudian mendaftarkan diri menjadi reporter kolom remaja GEMA, halaman khusus untuk pelajar yang dikelola harian BERNAS. Perjalanan sebagai reporter berlanjut di saat ia kuliah di UGM, selama 1 tahun Kunto bergabung dengan majalah kampus bernama Balairung. Tak puas sampai situ, ia berpindah ke majalah Basis menjadi reporter selama tujuh tahun. Setelah lulus kuliah pada tahun 2003, ia hijrah ke Jakarta dan bekerja di majalah Marketing sebagai redaktur dan freelance sebagai ghostwriter. 2007 ia kembali ke Yogyakarta dan bekerja di penerbit Galang Press sebagai pemimpin redaksi.

Sebagai wartawan, berbagai penugasan jurnalistik telah dilalakoni. Sebagai editor, puluhan buku telah ia sunting. Sebagai penulis, banyak buku telah ia karang. Sebagai pembicara, forum pelatihan di berbagai kota di Indonesia juga telah ia hadiri. Hingga pada tahun 2010 ia bosan menjadi karyawan. Ia memilih keluar dari pekerjaan dan berwirausaha di bidang media.  Ia mendirikan sebuah penerbit kecil-kecilan, ia menyebut penerbit kaki lima.

Dalam tulisannya berjudul “Guru Samino” di blog-nya dan Kompasiana, dia bercerita banyak hal dan setelah saya baca, sepertinya pernyataan dari guru SMA-nya ini lah yang membakar semangatnya untuk berwiraswasta. Berikut saya kutip :

“Isih melu uwong, Le?” Masih bekerja ikut orang, Le? Ini pertanyaan latah yang kerap ia lontarkan jika kami bertandang di rumahnya, 1 km sebelah barat Candi Prambanan, Kalasan. Jika jawabannya “ya”, ia akan menghardik, “Isih dadi batur yen ngono?” Masih jadi pesuruh!

Di matanya, kartu nama kami, dengan embel-embel jabatan supervisor, manajer, bahkan direktur, tidaklah membuatnya kagum. Pamer apa pun di depannya tiada berguna. “Lehmu entuk duit seka ngendi kuwi?” cecarnya jika kami pamer gaji atau kekayaan. Selagi masih diperoleh dengan cara bekerja sebagai karyawan, di matanya nilai kami masih 6.
Bagi Samino, profil murid yang ia kagumi adalah mereka yang berani mandiri. Wiraswasta!

STMJ
26 Oktober 2011 di sore hari pukul 5 sore. Waktu itu gunung Merapi baru saja mengeluarkan wedus gembelnya. Di sebuah tempat bernama Solusi Distribusi, Kunto, Haryadi dan Lina sedang berdiskusi tentang seputar penerbitan. Muncullah ide untuk membentuk sebuah lembaga pelatihan menulis dan agensi naskah untuk penerbit. “Gagasan awal dari berdirinya STMJ adalah karena adanya gap antara penerbit dan penulis. Banyak penulis tersedia namun takut untuk menembus penerbit. Begitu pula pihak penerbit tak mengetahui banyak penulis. Banyak penerbit butuh penulis, banyak penulis butuh penerbit. Kami hadir di tengah-tengahnya”. Bagi kunto, penulis-baru tidak bisa dilepaskan begitu saja. “Biasanya penulis pasti ingin bukunya diterbitkan”, Kunto dan STMJ hadir dengan konsep pelatihan-menulis berbayar dengan garansi bahwa peserta pasti menghasilkan buku. “Kami memang menerapkan tarif tertentu tapi itu untuk pelatihan yang sifatnya kolektif dan jika kami diundang ke suatu tempat dalam jangka waktu tertentu”.

Pelatihan sesungguhnya ia berlakukan secara gratis. Bahkan, pelatihan menulis gratis ini boleh dikatakan privat. Mengapa? Penulis pemula dipersilakan mengajukan ide buku yang ingin ditulis dalam bentuk outline. Ide ini disampaikan secara online ataupun bisa datang sendiri kepada Kunto. Jika ide dan outline disetujui maka Kunto akan memberitahu penulis pemula itu tentang langkah apa yang harus dikerjakan. Langkah demi langkah sang penulis dibimbing sampai menghasilkan sebuah buku.
“Banyak sekolah menulis yang sudah ada seperti Indscript di Bandung, SMM di Semarang, RedCarpet di Jakarta, dan masih banyak lagi. Saya tegaskan bahwa kami memang meniru konsep mereka karena tujuannya sama, yaitu membuka wawasan manusia melalui tulisan”, kata pria yang hobi bersepeda ini.

Wisata Jurnalistik
Banyak wisatawan datang ke Yogyakarta. Biasanya mereka hanya punya cerita yang biasa-biasa saja. Mungkin hanya mendengar penjelasan dari pemandu wisata yang mendampingi. Cerita yang didapat akan terasa sangat membosankan. Kalau hanya melihat Kraton yang dilihat dari sudut pandang sebuah kerajaan, mungkin sudah semua orang mengetahui. Melihat gudeg dari sudut pandang makanannya, mungkin juga sudah banyak orang sudah mengerti. Kunto mengajak para wisatawan mengetahui dan mengabarkan Yogyakarta dari sudut pandang yang berbeda. “Temukan sendiri Jogjamu”, itulah prinsip yang diangkat Kunto dalam program wisata jurnalistik ini. Dengan kata lain, peserta akan menjadi pemandu untuk dirinya sendiri. Wisatawan atau peserta wisata jurnalistik akan diajak blusukan, peserta akan diajak ke tempat wisata yang diinginkan. Tentu, ada tarif tertentu yang harus dibayarkan. Lalu, di mana letak jurnalistiknya? “Program ini hanya dibuka pada musim liburan. Peserta akan diberikan materi : teknik wawancara, pengumpulan ide, dan teknik menulis cerita, teknik menulis feature. Biasanya tulisan hasil tulisan mereka ditampilkan melalui blog”. Menurutnya, dengan mengajak wisatawan mengetahui Yogyakarta dilihat dari sudut pandang yang berbeda berarti ia telah ikut membantu membuka wawasan banyak orang tentang Yogyakarta.
Kula Nuwun mas Kunto, saya nulis panjenengan njih hehe kritikannya saya terima. hehe

Saya akhiri tulisan ini dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer
Orang boleh pandai setinggi langit tetapi selama ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”