Senin, 30 April 2012

Pedagang Miras Keliling di Bantul

foto saya ambil dari : http://shalluvia.blogspot.com

Kalau Anda melihat foto di atas, tidak ada yang aneh kan? Hanya jamu yang dijual dengan cara keliling. Biasanya ada beras kencur,kunyit asam, dll. Taukah Anda, belum lama ini di Bantul juga muncul pedagang jamu yang dijual dengan cara keliling, tapi jamu yang dijual adalah nama samaran dari miras yaitu “lapen”.

Pertama kali mendengar kabar ini pun saya sempat tergelitik geli. Ada-ada saja ide orang Jogja. Tapi ide ini kok sepertinya kurang pas ya. Berikut akan saya ceritakan kronologisnya.

Kemarin sore, tepatnya tanggal 29 April jam 16.00. Saya dan beberapa sahabat menjenguk seorang teman di RS Panembahan Senapati Bantul. Dia barusaja menjalani operasi lambung.   Ya, umumnya orang menjenguk kan ngajak ngobrol tentang apa yang dia rasakan, apa sebabnya dan banyak lah obrolan lainnya yg sifatnya hanya pepesan kosong.

Selidik punya selidik, selama beberapa minggu, teman saya si son itu (nama saya samarkan) setiap sore rutin mengonsumsi jamu; begitu dia menyebutnya. Pernah sesekali dia bilang “aku pengen gendut , aku dah minum jamu, skarang perutku tambah gedhe to” katanya sambil menunjukkan perutnya yang sudah membuncit.

Benar memang, dia minum jamu tiap sore. Kira-kira jam 16.30, penjual jamu itu lewat ke perkampungan si Son. Badannya besar dan tambun, naik motor yg diiklankan Komeng. Setiap kali si penjual jamu berhenti menjajakan dagangannya, banyak pemuda dan ABG yg mendatanginya. Tak tampak seperti pedagang yg membawa “kronjot” (keranjang) karena dagangannya ada di dalam bagasi motor. meski demikian, pelanggannya sudah tahu kalau dia sedang jualan jamu.

Para pemuda dan ABG itu bertolak dengan membawa bungkusan plastik.  Sruput demi sruput para pemuda itu menikmati minuman yang mereka sebut sebagai jamu itu. Ternyata, “jamu” cuma sebutan mereka untuk menyamarkan agar tak dianggap negatif oleh warga. Sebenarnya minuman itu adalah LAPEN. Barangkali ada yg belum mengenal apa itu lapen. Kalau untuk orang Jogja, kata itu tidak asing. Kalau di daerah Sragen, dikenal ada miras tradisional namanya CIU, di Kalimantan ada Tuak, nah di Jogja, miras tradisionalnya namanya lapen. Tapi, saya sendiri juga tak tahu secara detail apa bahan dan bagaimana cara membuatnya. Saya sendiri juga belum pernah mengonsumsinya. Kata teman saya sih rasanya “kecing” hehe

Kalau ada yang masih ingat, dalam jangka 4 tahun ini ada beberapa kejadian miras oplosan memakan korban. Ingat? ya minuman lapen lah yang menyebabkan. Berbagai macam bahan kimia dicampur. Kalau yg saya ingat, ada bahan pembersih lantai juga. Ya mungkin tidak semua lapen dibuat dengan bahan yang asal-asalan, ada juga yang dibuat dengan cara yg semestinya. tapi ya bagaimana pun cara membuatnya, kalau namanya miras yg dikonsumsi terlalu banyak juga kurang baik. Temen saya yang juga seorang peminum mengatakan hal ini. “Dulu lapen di Pajeksan itu enak tapi aman”, begitu kata temen saya. Saya akui, saya juga peminum miras, tapi ya bukan pemabuk.

Kembali lagi ke pedagang keliling ya. Para pelanggan biasa memanggil si pedangang dengan nama “bagong”. Daerah jangkauannya saya sendiri kurang paham, tapi ada informasi bahwa dia berkeliling di sekitar selatan ringroad selatan (dongkelan) sampai sekitar pasar Bantul. Dia menjual 3 macam rasa : Lapen murni, Lapen putih (katanya sih pakai susu), dan lapen jamu (katanya memang pakai campuran jamu semacam beras kencur). Harganya dipatok hanya Rp 4000 saja. Ada yang mengonsumsi 1 plastik sehari, ada yg mengonsumsi 2 plastik. Satu plastik yang dimaksud adalah plastik ukuran setengah kilo.

Menurut informasi yang saya terima, orang yg biasa minum lapen akan merasa tersiksa jika sehari saja tidak mengonsumsi lapen. Begitu pula yang terjadi dalam kasus ini, candu lapen sudah menyebar. Modus penjualan lapen ini mungkin tergolong baru dan rapi. Dulu, si bagong ini sempat menjual lapen di rumahnya, tapi karena suatu hal (mungkin karena tertangkap Polisi) ia kemudian menjualnya dengan cara keliling.

Teman saya sudah menjadi korban yang untungnya tidak sampai merenggut nyawanya. Masih banyak yang mengonsumsi lapen keliling ini. entah mau berapa korban lagi yang akan terkena imbas lapen ini. saran saya buat semua yang ingin minum miras, usahakan cari miras yang berkualitas lah, jangan asal mau mabuk. Mahal sedikit tak apa, tapi aman. Tapi juga jangan terlalu over dosis. bukan berarti saya menyarankan dan menghalalkan minuman keras lho. ini hanya sudut pandang dari seorang peminum, saya tidak mau munafik kalau saya pun juga peminum

Saran saya untuk bagong, si pedagang lapen. Anda itu kreatif lho, bisa menemukan ide berbisnis dengan menjemput pelanggan. Ini sudah merupakan inovasi. Anda juga sudah punya pelanggan tetap kan? Kalau bisa, jangan jualan lapen lagi karena sudah banyak yang tau kalau lapen buatan Anda itu berbahaya. Usahakan, Anda berdagang sesuatu yg bermanfaat lah. Terakhir, mas bagong, kamu jangan minum lapen buatanmu ya. bahaya, nanti kamu malah pingsan dan bisa opname.

Tulisan ini pernah jadi HL di kompasiana  30 April 2012 | 14:21
Dibaca: 1721   Komentar: 40   3 dari 5 Kompasianer menilai aktual

Sabtu, 14 April 2012

Kursus Nembang Macapat Gaya Yogyakarta


Dari Alun-alun utara, berjalanlah kira-kira 50 meter ke selatan menuju arah Kraton Yogyakarta. Setelah melewati dua gapura besar berwarna putih, di kiri jalan Anda akan menjumpai sebuah rumah bertuliskan “Kursus Macapat, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Menerima Siswa Baru” di sisi depannya. Barangkali Anda tidak menyadarinya. Sebuah tempat kecil dan tua namun cukup berarti. Tempat ini adalah tempat untuk kursus nembang macapat gaya Yogyakarta.


Seolah tulisan itu memanggil kita untuk mau mempelajari seni tradisi macapat. Pada dasarnya, macapat adalah seni olah vokal menyanyikan tembang Jawa. Pada hakikatnya, macapat dinyanyikan tanpa iringan gamelan. Syair macapat berisi tentang banyak hal, ada tentang sejarah, ajaran hidup, nasehat, doa. Cakupan cerita kehidupan dalam macapat meliputi masa manusia sebelum lahir sampai pada masa penantian ke surga.

Pamulangan Sekar Macapat adalah lembaga milik Kraton Yogyakarta di bawah kepengurusan Kawedanan Hageng Punakawan Krida Mardawa, sebuah bagian yang khusus mengurus kesenian. Tempatnya tak begitu besar, pun pencahayaannya hanya memakai lampu neon dan mengandalkan pantulan cahaya matahari. Di tempat kecil ini, budaya Jawa, khususnya di bidang seni tembang macapat berusaha dihidupkan dan dibagikan ilmunya ke semua orang yang ingin mempelajarinya. Pamulangan berasal dari kata “mulang” yang berarti mengajar. Pamulangan berarti pengajaran. “sekar” berarti lagu, dan “macapat” berarti seni olah vokal Jawa.

Sayup terdengar lantunan nada-nada Jawa. Rupanya itu adalah kegiatan belajar mengajar sekar macapat setiap sore pukul 16.00 -17.30, dari hari Senin sampai Sabtu. Biasanya, kegiatan tradisi hanya diikuti oleh orang yang sudah berumur. Namun, di tempat ini ada beberapa murid dari kalangan anak muda. Seperti Dila misalnya. Dia adalah seorang reporter dari sebuah majalah di tempat kuliahnya di UGM. Wanita ini awalnya hanya ingin meliput keberadaan pamulangan sekar macapat ini.

“Saya asli Tangerang, awalnya saya penasaran hanya ingin tau, kata teman saya setiap Senin sampai Kamis sore ada kursus macapat di Kraton. Namun, lama-lama saya tertarik dengan manfaat dan filosofisnya. Dari macapat kita bisa tahu sejarah dan kita diberi ajaran hidup. Dengan macapat juga kita bisa protes, marah, dan berekspresi”, katanya.

Sebagai orang bukan Jawa, Dila bangga bisa mempelajari kesenian yang sudah tak banyak orang mengetahuinya. “Saya sebagai pendatang saja mau belajar, seharusnya orang Jogja terlebih kaum mudanya juga mau belajar. Bagi pendatang, mari kita mempelajari macapat. Kapan lagi ada kesempatan bisa mempelajari warisan budaya yang luar biasa ini. Saya sudah mulai menyukainya.”, ajaknya dengan penuh semangat.

Berbeda dengan murid yang sudah berumur. Pak Arifin (57 tahun) misalnya, meskipun sudah tua ia merasa perlu untuk mempelajari tradisi macapat ini. Selain untuk melestarikan budaya, ia juga ingin memberi contoh kepada anak muda bahwa tak ada kata terlambat untuk belajar. “Dengan macapatan (bernyanyi Jawa), hati saya merasa tentram. Syairnya mempunyai makna yang dalam, nadanya menyejukkan. Pernah ada orang jepang yang bilang pada saya kalau dia juga merasa tentram saat mendengar dan menyanyi macapat. Dia pun pernah ikut kursus di sini”

Dengan sebuah tongkat kecil, Romo Projo, sang guru macapat menunjuk ke sebuah kertas yang ditempelkan di dinding. Perlahan dia menunjuk notasi angka sambil menyanyikan notasi dalam bahasa Jawa “mo..lu..ro…ji..nem..mo..”. Satu per satu siswa bergantian menyanyikan sekar. Sesekali ada pula yang salah, Romo Projo pun maklum. Perlahan dia membimbing mereka “Mboten ngaten, kirang inggil titi nadaipun” pandunya dengan bijak.
Bagi Romo Projo, apa yang dia lakukan bukanlah sebuah pekerjaan. Semua adalah pengabdian terhadap seni budaya. Peserta kursus hanya dipungut biaya 10.000 rupiah untuk pendaftaran dan 10.000 rupiah untuk satu bulanpertemuan. “Itu pun kalau peserta memberi, kalau tidak memberi ya tidak apa-apa, yang penting mereka mau mempelajari dengan serius. Saya tidak mewajibkan mereka untuk membayar. Ini sebuah pengabdian yang tak bisa diukur dengan materi. Saya ikhlas.

Bagi Romo Projo, selain mempelajari macapat, siswa-siswanya secara otomatis pasti mempelajari bahasa dan budaya Jawa. Bahasa pengantarnya pun dia menggunakan bahasa Jawa. “Pada awalnya memang orang yang tidak bisa bahasa Jawa pasti akan keberatan. Namun, bagaimana mungkin orang mempelajari macapat yang semua bahasanya adalah bahasa Jawa tapi tidak mengerti bahasa Jawa. Perlahan mereka akan mengerti. Itu yang menjadi daya tarik buat mereka. Kami tidak memaksa, tapi mengajari.”
Barangkali Anda juga tertarik untuk belajar nembang?