Sabtu, 14 April 2012

Kursus Nembang Macapat Gaya Yogyakarta


Dari Alun-alun utara, berjalanlah kira-kira 50 meter ke selatan menuju arah Kraton Yogyakarta. Setelah melewati dua gapura besar berwarna putih, di kiri jalan Anda akan menjumpai sebuah rumah bertuliskan “Kursus Macapat, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Menerima Siswa Baru” di sisi depannya. Barangkali Anda tidak menyadarinya. Sebuah tempat kecil dan tua namun cukup berarti. Tempat ini adalah tempat untuk kursus nembang macapat gaya Yogyakarta.


Seolah tulisan itu memanggil kita untuk mau mempelajari seni tradisi macapat. Pada dasarnya, macapat adalah seni olah vokal menyanyikan tembang Jawa. Pada hakikatnya, macapat dinyanyikan tanpa iringan gamelan. Syair macapat berisi tentang banyak hal, ada tentang sejarah, ajaran hidup, nasehat, doa. Cakupan cerita kehidupan dalam macapat meliputi masa manusia sebelum lahir sampai pada masa penantian ke surga.

Pamulangan Sekar Macapat adalah lembaga milik Kraton Yogyakarta di bawah kepengurusan Kawedanan Hageng Punakawan Krida Mardawa, sebuah bagian yang khusus mengurus kesenian. Tempatnya tak begitu besar, pun pencahayaannya hanya memakai lampu neon dan mengandalkan pantulan cahaya matahari. Di tempat kecil ini, budaya Jawa, khususnya di bidang seni tembang macapat berusaha dihidupkan dan dibagikan ilmunya ke semua orang yang ingin mempelajarinya. Pamulangan berasal dari kata “mulang” yang berarti mengajar. Pamulangan berarti pengajaran. “sekar” berarti lagu, dan “macapat” berarti seni olah vokal Jawa.

Sayup terdengar lantunan nada-nada Jawa. Rupanya itu adalah kegiatan belajar mengajar sekar macapat setiap sore pukul 16.00 -17.30, dari hari Senin sampai Sabtu. Biasanya, kegiatan tradisi hanya diikuti oleh orang yang sudah berumur. Namun, di tempat ini ada beberapa murid dari kalangan anak muda. Seperti Dila misalnya. Dia adalah seorang reporter dari sebuah majalah di tempat kuliahnya di UGM. Wanita ini awalnya hanya ingin meliput keberadaan pamulangan sekar macapat ini.

“Saya asli Tangerang, awalnya saya penasaran hanya ingin tau, kata teman saya setiap Senin sampai Kamis sore ada kursus macapat di Kraton. Namun, lama-lama saya tertarik dengan manfaat dan filosofisnya. Dari macapat kita bisa tahu sejarah dan kita diberi ajaran hidup. Dengan macapat juga kita bisa protes, marah, dan berekspresi”, katanya.

Sebagai orang bukan Jawa, Dila bangga bisa mempelajari kesenian yang sudah tak banyak orang mengetahuinya. “Saya sebagai pendatang saja mau belajar, seharusnya orang Jogja terlebih kaum mudanya juga mau belajar. Bagi pendatang, mari kita mempelajari macapat. Kapan lagi ada kesempatan bisa mempelajari warisan budaya yang luar biasa ini. Saya sudah mulai menyukainya.”, ajaknya dengan penuh semangat.

Berbeda dengan murid yang sudah berumur. Pak Arifin (57 tahun) misalnya, meskipun sudah tua ia merasa perlu untuk mempelajari tradisi macapat ini. Selain untuk melestarikan budaya, ia juga ingin memberi contoh kepada anak muda bahwa tak ada kata terlambat untuk belajar. “Dengan macapatan (bernyanyi Jawa), hati saya merasa tentram. Syairnya mempunyai makna yang dalam, nadanya menyejukkan. Pernah ada orang jepang yang bilang pada saya kalau dia juga merasa tentram saat mendengar dan menyanyi macapat. Dia pun pernah ikut kursus di sini”

Dengan sebuah tongkat kecil, Romo Projo, sang guru macapat menunjuk ke sebuah kertas yang ditempelkan di dinding. Perlahan dia menunjuk notasi angka sambil menyanyikan notasi dalam bahasa Jawa “mo..lu..ro…ji..nem..mo..”. Satu per satu siswa bergantian menyanyikan sekar. Sesekali ada pula yang salah, Romo Projo pun maklum. Perlahan dia membimbing mereka “Mboten ngaten, kirang inggil titi nadaipun” pandunya dengan bijak.
Bagi Romo Projo, apa yang dia lakukan bukanlah sebuah pekerjaan. Semua adalah pengabdian terhadap seni budaya. Peserta kursus hanya dipungut biaya 10.000 rupiah untuk pendaftaran dan 10.000 rupiah untuk satu bulanpertemuan. “Itu pun kalau peserta memberi, kalau tidak memberi ya tidak apa-apa, yang penting mereka mau mempelajari dengan serius. Saya tidak mewajibkan mereka untuk membayar. Ini sebuah pengabdian yang tak bisa diukur dengan materi. Saya ikhlas.

Bagi Romo Projo, selain mempelajari macapat, siswa-siswanya secara otomatis pasti mempelajari bahasa dan budaya Jawa. Bahasa pengantarnya pun dia menggunakan bahasa Jawa. “Pada awalnya memang orang yang tidak bisa bahasa Jawa pasti akan keberatan. Namun, bagaimana mungkin orang mempelajari macapat yang semua bahasanya adalah bahasa Jawa tapi tidak mengerti bahasa Jawa. Perlahan mereka akan mengerti. Itu yang menjadi daya tarik buat mereka. Kami tidak memaksa, tapi mengajari.”
Barangkali Anda juga tertarik untuk belajar nembang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar