Selasa, 19 Juni 2012

Pentas Seni Tari Tradisi


Saya mau sedikit berkomentar tentang seni budaya. Selama saya melihat, sepertinya banyak orang yang ingin  supaya anak-anak muda belajar seni budaya. Yang dimaksud seni budaya ya semacam tarian tradisional, musik tradisional, dll. Saya pun ingin supaya anak-anak muda juga mempelajari dan mengerti hal semacam itu. Tapi kok sepertinya orang-orang yang mengajak belajar itu malah terkesan kurang ikhlas untuk berbuat lebih. Anak-anak muda yang baru belajar hanya diajak berlatih untuk keperluan pentas. Tanpa dasar, tanpa diberitahu tekniknya. Bahkan, pementasannya pun terkesan asal-asalan.

Dalam hal ini, saya mau berbicara tentang pembelajaran seni tari. Saya melihat di pembelajaran seni tari tradisi. Anak-anak muda yang baru belajar hanya disuruh menirukan gerakan sang pelatih. Bahkan hanya berlatih hanya untuk kepentingan pentas. Mbuhh bener po ora gerakanne ya ra diurusi. Satu hal lagi, bagaimana ngepaske dengan iringan pun belum tau, sang pelatih pun tak mengajarkan. Padahal yang paling penting adalah tentang filosofi dan dasarnya. Seni tradisi atau saya lebih sering menyebut seni klasik, selalu punya filosofi. Kalau dalam seni tari klasik, setiap gerakan ada filosofinya, tidak asal gerak. Kalau pun tidak dengan filosofi ya....paling tidak kan diajarkan gerakannya dengan benar sehingga enak dilihat.

Seperti yang saya katakan di awal tadi,  banyak orang yang ingin supaya anak muda belajar seni budaya. Tapi hasilnya jadi asal-asalan. Pikiran saya, buatlah dulu seni budaya itu tampak menarik. Kalau latihannya asal-asalan, gerakannya tidak pas bahkan terkesan wagu, trus apa yang mau diunggulkan? Tidak mungkin kita memaksa anak-anak muda untuk harus mempelajari. Saya yakin, teman-teman muda tidak melirik seni tradisi karena dianggap kuno dan mungkin dari orang tua mereka tidak mengajak mempelajari. Sepertinya memang karena masuknya banyak budaya populer.

Sering saya lihat pentas seni tradisi disajikan di lapangan terbuka, jalan raya, dll. Smua itu tanpa ada konsep dan tata artistik, kadang panas terik matahari jari tata cahaya. Tanpa atap dan beralas tanah, paling banter ya rumput. Saya kok kasihan sama para penampil, kasihan juga sama para penontonnya, apalagi kalau yang dilihat hanya robot. Kenapa saya bilang robot? Karena penampil hanya menirukan gerakan tanpa tahu apa maksud hal yang dilakukan. Saya khawatir justru kaum muda akan semakin enggan belajar seni tradisi. Saya selalu mengritik jika ada hal semacam itu. Belajar adalah cara untuk  bisa/mampu, bukan hanya belajar untuk pentas. Kalaupun hanya untuk pentas ya dimaksimalkan. Persiapkan tata panggung, musik, tata cahaya, koreografi, dan tempat pentas yang memadahi. Pikirkan aspek pemain, pikirkan juga aspek pononton.

Saya berpendapat seperti ini bukan berarti kalau pentas di jalan raya, lapangan, beratap awan dengan panas terik, beralas tanah itu tidak baik untuk pentas. Bisa menjadi baik, bahkan mungkin menarik. Tinggal bagaimana kita mengemas pertunjukan. Jangan sampai hanya karena pembelajaran dan pertunjukan yang kurang menarik, anak-anak muda semakin tidak tertarik mempelajari seni tradisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar